Saya panik. Setelah lebih 5 jam si cawan ninja ini bersembunyi dalam liang vagina, saya tidak bisa meraihnya. Waduh, dia masuk ke rahim. Bagaimana ini?
Sampai kita bertanya pada pulau tetangga sebelah kita, jawaban yang sama. Itu bukan sampah kami, sampah kiriman pulau lain. Demikian seterusnya sampai melanglang bumi.
Masak sih kalian mudah percaya siasat penipu? Saya makin jarang mengikuti timeline Twitter. Sekalinya nengok, ada hastag tipu menipu level rendah memanfaatkan akun-akun palsu yang dijual peternak akun bot, lagi-lagi mengeluarkan jurus siapa mendanai aksi.
Ini bukan kali pertama siasat baper dikerahkan gerombolan berduit. Sampai ada akun-akun anonym yang umurnya panjang untuk tiap saat mencoba mengarahkan topik. Misal, kok tolak reklamasi terus, itu pantai dikapling hotel kok nggak diprotes? Lah, ini sak laut mau dikapling. Continue reading Hayooo, pasti kamu yang danai aksi ForBALI→
Jro Mangku Pura Dalem Khayangan di Jalan Ahmad Yani, Denpasar Utara ini memimpin upaya perlindungan lahan sawah dan tata ruang desanya. Setahun terakhir ini, warga Desa Peguyangan Utara belajar mengelola ekowisata Subak Sembung sebagai strategi pencegahan alih fungsi lahan pertanian dan mempertahankan jalur hijau tersisa di Kota Denpasar.
Jro Mangku yang bernama lahir Made Suastika ini berharap mendapat masukan dari pengunjung untuk mendorong pengelolaan ekowisata subak yang berkelanjutan. “Silakan beritahu jika ada yang tidak pas. Kami masih belajar,” katanya rendah hati.
Pria ini bertutur kata teratur dan senang berbagi proses dan mimpi desa mereka. Sebelum memasuki gerbang besi pintu masuk areal persawahan Subak Sembung sekitar 115 hektar ini, ada sebuah pura Dalem dan setranya yang apik dan teduh. Continue reading Subak Sembung Merintis Ekowisata di Tengah Kota→
Hastag #balitolakreklamasi beberapa kali direspon dengan komentar, “Tak hanya orang Bali kok yang tolak reklamasi.” Jadilah muncul #tolakreklamasitelukbenoa dan diboyong ke ibukota. Karena tak sedikit selebritis yang ingin menyuarakannya. Tanpa dibayar.
Selasa malam pukul 6.30, saya dan seorang kawan di Jakarta, Musfarayani berhitung waktu dan menimbang opsi transportasi menuju Kemang, Jakarta Selatan, lokasi Rolling Stone Café. Kami ingin menonton semua yang ada di panggung #konsersvarabumi sejak menit pertama.
Tapi kami sadar itu tak mungkin. Dari Jakarta Pusat menuju daerah padat Jaksel di jam pulang kantor dalam setengah jam? Benar saja, kami kehilangan orasi Saras Dewi, doctor muda UI berdarah Bali yang juga penyanyi ini. Juga tak bisa dengar hiphop cerdas Jogja @killthedj dan trio folks idaman tua muda @nosstressbali. Continue reading Svara Bumi di ibukota untuk #tolakreklamasitelukbenoa→
Pukul 6 pagi. Alarm hape jadul mencicit. Biasanya yang sudah bangun duluan Anton. Dia kerap bangun dini hari untuk buka laptop, tapi kalau tidurnya lebih awal maksimal pukul 9 lah.
Menjerang air, seduh kopi. Kemudian Bani bangun, dan terakhir Satori. Nah, si adik ini juga biasanya mencicit usai terjaga. Menangis, seperti orang kepupungan.
Saatnya hidupin tape. Selama beberapa bulan terakhir ini, tiga pemutar keeping CD dalam satu tape ini memutar Dialog Dini Hari/DDH (Tentang Rumahku), Tulus (Gajah), Pygmos (Kabar dari Hutan), Navicula (love Bomb), terakhir Nosstress (Perpektif Bodoh II). Selain Tulus, lainnya musisi indie Bali. Continue reading Musik berkisah di beranda rumah→
Album ini sudah dikemas seperti sebuah pertunjukkan di atas panggung. Sebagai pembuka, Cok menyambut dengan buaian “Manipulasi Hati” bagi pengunjung.
“.. kau seperti dewa kau buat hidup ini berwarna. Kau bagai dewa kau buat orang terus bermimpi.” Setelah koor senang dan mulai termotivasi, Kupit mengajak minum kopi di beranda rumahmu. Aransemen ulang “Tanam Saja” yang membuat kita ingin mengelus capung yang entah di mana, sulit ditemukan karena air makin tercemar.
Tapi penonton masih tersenyum. Dan mungkin akan meledak tertawa ketika “Lagu Semut” didendangkan. Kemudian mendadak tersengat ketika merenungkan lagu ini tentang apa. Dan, makin sayang dengan semut hitam yang jalan-jalan di rumah. Haha. Tapi semut hitam di album ini memberi alarm pada situasi di pulau kecilmu ini.
Ketika investor berlomba membuat resor eksotis sampai membelah bukit seperti di Pantai Pandawa, ingin mengurug Teluk Benoa agar dapat sunset dan sunrise di tengah laut. Sementara di bawah kondominium, hotel, atau villa ada nelayan yang mengais sisa-sisa rumput laut yang rusak diterjang ombak.
Maka, kutipan Gandhi yang masyur memang jadi niscaya, bumi tak akan cukup untuk satu orang yang serakah.
Wayan Renten, menyebut dirinya tokoh masyarakat di Benoa tiba-tiba bangun dari kursinya dan berteriak pada Kadek Duarsa, anak muda Ketua LPM Benoa. “Hei, siapa kamu? Pembohong kamu. Baru kemarin sore kamu. Saya tokoh di Benoa,” teriaknya.
Ia menunjuk-nunjuk Duarsa dengan galak sembari minta dukungan dari rekannya untuk menyoraki anak muda yang membawa surat Sabha Desa Tanjung Benoa dan tanda tangan penolak rencana reklamasi di Teluk Benoa. Duarsa terlihat berusaha menahan kemarahannya, suaranya bergetar menunjukkan satu bundel surat itu. “Saya Ketua LPM,” sahutnya dengan gejolak amarah yang diredam agar tak meledak karena mungkin sebal ditunjuk-tunjuk dianggap bukan siapa-siapa. Karena masih muda dan sudah berani mengkritisi rencana reklamasi di depan forum resmi para pejabat-pejabat dari Jakarta ini. Continue reading “Ring Tinju” di Rencana Reklamasi untuk Siapa?→
Sejumlah pelukis-pelukis tak terkenal mendonasikan karyanya untuk penggalian dana gerakan tolak reklamasi, suatu malam minggu pada November lalu di Denpasar.
Salah satunya I Wayan Damai. Pria difabel ini melelang karya lukisanya yang berjudul “Pasar”. Dalam karya realisnya di atas kanvas ini terlihat dua orang, laki dan perempuan berkursi roda berbelanja di pasar. Ada juga gambar toilet dengan undakan yang tak bisa dilalui kursi roda. Keduanya termenung di depan toilet itu. Continue reading Seniman dan Solidaritas Bali Tolak Reklamasi→
“Aku, selalu suka hujan di bulan Desember,” begitu kutipan lirik ERK, band intelek ini. Juga saya, banyak orang, seusai musim panas yang sangat menyengat tahun ini di Bali. Tapi, kata suka mudah berubah jadi panik ketika air hujan masuk rumah.
Maka jadilah, saya mengundang teman yang bisa membuat lubang biopori ke rumah. Dalam waktu satu jam, jadilah dua lubang bipori, kedalaman sekitar 1,5 meter di halaman depan dan belakang. Rumah kami lebih rendah dari jalan, jadi air hujan mudah masuk dan menggenang. Dan, benar saja, satu lubang biopori cukup ampuh meredam luapan air saat hujan deras.
Tak langsung lenyap, tapi airnya masuk secara perlahan ke dalam tanah. Barangkali tak mudah meresap karena bekas-bekas semen ketika membangun rumah di lapisan tanah dan sampah plastic yang mengendap. Continue reading Cerita Air, Kini dan Nanti→