Cerita Air, Kini dan Nanti

“Aku, selalu suka hujan di bulan Desember,” begitu kutipan lirik ERK, band intelek ini. Juga saya, banyak orang, seusai musim panas yang sangat menyengat tahun ini di Bali. Tapi, kata suka mudah berubah jadi panik ketika air hujan masuk rumah.

Maka jadilah, saya mengundang teman yang bisa membuat lubang biopori ke rumah. Dalam waktu satu jam, jadilah dua lubang bipori, kedalaman sekitar 1,5 meter di halaman depan dan belakang. Rumah kami lebih rendah dari jalan, jadi air hujan mudah masuk dan menggenang. Dan, benar saja, satu lubang biopori cukup ampuh meredam luapan air saat hujan deras.

Tak langsung lenyap, tapi airnya masuk secara perlahan ke dalam tanah. Barangkali tak mudah meresap karena bekas-bekas semen ketika membangun rumah di lapisan tanah dan sampah plastic yang mengendap.

I Nyoman Sunarta, ahli hidrologi ini mengatakan jumlah air tawar disebut lebih banyak dibanding pemakaian air sepanjang tahun di Bali. Masalahnya, volume air tawar berlebihan di musim hujan yang menjadi banjir. Kemudian menyusut di musim kemarau dan menimbulkan krisis air yang parah. Pengelolaannya tidak maksimal.

Di Bali, tiga bulan terakhir ini selalu ada tiap minggu berita kekeringan. Misalnya protes kelompok subak atau organisasi pengairan sawah tradisional atau beberapa pemukiman yang beberapa hari tak terakses air PDAM yang ngadat.

Awal Desember lalu pun saya pertama kali melihat bagaimana warga sebuah desa di Bali melakukan protes pada pemerintah yang memberikan izin eksplorasi untuk perusahaan penjual air kemasan. Warga takut kesulitan air di masa depan. Kisah ini bisa dibaca di postingan saya sebelumnya.

Selain strategi pengelolaan air, yang juga bisa menjadi solusi krisis air di Bali adalah merevitalisasi kearifan lokal. Kearifan local adalah sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat sebagai hasil adaptasi lingkungan sekitarnya.

Contohnya ritual Tumpek Uduh untuk melestarikan tumbuhan. Ini disebut peringatan hari Bumi ala Bali. Ketika itu, umat Hindu membuat sesajen dan mendoakan bumi agar bersahabat dengan mahluk hidup. Selain itu ada perayaan tahun baru Caka di Bali yakni Nyepi atau silentday. Seluruh ruang publik termasuk bandara tidak ada aktivitas. Sebelum Nyepi, warga melakukan melasti atau penyucian ke sumber air.

Selain itu ada ritual ritual pengambilan air suci ke sumber-sumber air yang berlangsung beberapa kali dalam setahun. Misalnya di sumber air, danau, sungai, dan estuary.

Secara umum, daya dukung air Bali disebut Sunarta deficit. Nilainya di bawah 1, merupakan akumulasi dari factor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan air dan tingkat kebutuhannya. Tingkat ketersediaan dipengaruhi tiga hal yakni curah hujan, limpasan air, dan luas wilayah. Diperkirakan deficit pada 2015 menjadi 27 miliar meter kubik per tahun. Satu kubik sama dengan 1000 liter.

Ketersediaan air di Bali berdasarkan penghitungan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Universitas Udayana sekitar 4,7 milyar meter kubik/tahun. Sementara kebutuhan air sekitar 5.4 milyar m3/tahun.

Selain itu kawasan hutan yang menjadi daerah resapan dengan kategori kritis di Bali sebanyak 23 ribu hektar atau 18% dari 130 ribu hektar hutan negara. Sekitar 13 ribu diklaim sudah ditangani dengan cara rehabilitasi sementara sisanya masih rusak berat seperti gundul.  Kebanyakan lahan kritis disebut karena perambahan lahan menjadi perkebunan palawija dan sebagian lainnya karena illegal loging.

Air bersih, saya makin yakin, di masa depan menjadi sangat terbatas. Menjadi komoditas yang diperebutkan. Karena itu, walau agak sulit, sejak dini saya terus mendidik Bani, anak 6 tahun kami untuk menghemat air saat mandi. Termasuk mengajaknya berdendang lagu hujan yang sangat berarti untuk cadangan airnya di masa depan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *