Kisah di balik air minumku dan minummu

Satu demi satu warga menyatakan pendapat. Ada yang datar, dan sebagian besar dengan nada emosi. “Tiang taen 2 tiban ten maan yeh. Mangkin tiang takut anak cucu ten maan yeh,” kata Gusti Sujaya, dalam bahasa Bali yang menjadi bahasa pengantar dalam rapat desa. Ia mengingat pengalaman pernah dua tahun tidak dapat air karena sumber air dekat rumahnya kering setelah dibor. Ia tak mau anak cucunya nanti seperti itu lagi di masa depan.

Untuk pertama kali saya mengikuti rapat desa yang menghasilkan keputusan menolak eksplorasi sumur atau pengeboran oleh perusahaan air kemasan di Bali. Diskusi ini berlangsung lebih dari dua jam pada hari Minggu, awal Desember ini di Kabupaten Karangasem.

Sekitar 300 orang memenuhi wantilan desa dengan pakaian adat Bali madya. Semuanya pria, karena kebiasaan yang mewakili rapat adalah laki-laki. Kalau tidak bisa kepala keluarga, bisa diwakili anak lelakinya. Mereka mengenakan kamen (kain seperti sarung), udeng (ikat atau penutup kepala dari kain), dan selendang. Berbaju bebas.

Warga sangat menyimak penjelasan pemimpin rapat dan para undangan seperti pihak investor, pemerintah kabupaten, organisasi ahli air, dan LSM lingkungan.

Warga ingin mendengar pendapat dari sejumlah ahli dan pihak yang mengeluarkan izin eksplorasi yakni Pemkab Karangasem. Menurut saya dengar pendapat ini fenomena yang progresif dari krama (warga) desa Peladung.

Semua, termasuk undangan, duduk sama rendah di lantai wantilan. Mereka duduk berimpitan satu sama lain saking penuhnya ruangan.

Komang Alit, saya taksir usianya 40an tahun memimpin rapat ini. Ia adalah sekretaris Desa Peladung. Alit mempersilakan dua lembaga yang ahli di bidangnya itu memaparkan apa itu eksplorasi air tanah serta pengalaman di beberapa daerah. Saya mendengar beberapa kali tepuk tangan riuh saat kelompok aktivis lingkungan memaparkan risiko eksplorasi air bawah tanah tanpa control seperti kekeringan dan turunnya permukaan tanah.

Sementara ahli geologi lebih melihat eksplorasi ebagai peluang untuk memanfaatkan air agar tak terbuang ke lautan atau sungai. Jadi kok berimbang ya. Hebat, warga bisa obyektif.

Mulai terlihat bagaimana sikap mayoritas warga terhadap pemberian izin eksplorasi selama setahun ini kepada perusahaan air kemasan. Oya, menurut surat izin yang saya baca, Pemkab memberikan izin eksplorasi untuk meneliti kualitas air selama setahun dan dapat diperpanjang setahun kemudian. Pengeboran dilakukan kedalaman 100 meter.

Sebelum air itu bisa diperjualbelikan oleh investor, maka menurut Pemkab harus mendapat izin eksploitasi. Tapi untuk mendapat izin itu, harus lolos persetujuan warga karena ada semacam izin bahwa investor tidak menimbulkan gangguan untuk lingkungannya.

Alit memimpin rapat dengan demokratis. Setelah paparan ahli, Ia mempersilakan pihak investor berkomentar dan juga Pemkab. Setelah itu, Ia membagi delapan perwakilan banjar yang ada di desa itu untuk bicara. Setelah itu, baru boleh warga lain jika masih ada alokasi waktu. Luar biasa. Ia juga terkesan tidak melakukan penggiringan. Ia hanya berbicara seperlunya tanpa tekanan khusus. Ini baru cocok jadi anggota parlemen.

Sejauh mata memandang di kawasan ini memang relative masih hijau dengan sawah dan latar belakang Gunung Agung, gunung terbesar dan sangat filosofis di Bali. Di gunung ini berdiri Pura Besakih yang dianggap mother of temple.

Gemericik air di saluran irigasi sawah sangat bening. Di timur desa ini ada obyek wisata pemadaian air raja zaman dulu yakni Tirta Gangga. Semacam istana air yang tak terlalu besar. Airnya terus bening dan mengalir sepanjang tahun.

Mungkin karena kualitas air ini investor tertarik mencoba eksplorasi. Untuk memenuhi permintaan air kemasan yang melonjak belakangan ini. Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, sumber air minum dominan adalah air kemasan, lalu air ledeng atau Perusahaan Air Minum  Daerah, mata air, air sumur, air sungai, terakhir air hujan.

Menurut data 2011, sumber air minum bagi rumah tangga terdiri dari air kemasan 33%,  air ledeng 22%, mata air 23%, air sumur 15%, air sungai 1,7%, dan air hujan 3,6%.

Saya sendiri salah satu konsumen air kemasan J khusus untuk minum. Alasannya, punya bayi, dan berharap dia mengonsumsi air yang terjamin kebersihannya. Hehe.

Tapi mulai berpikir, kenapa perusahaan air kemasan mencari sumber air yang kualitasnya bagus. Mestinya sebagai perusahaan dengan teknologi tinggi bisa mengolah air yang kurang baik menjadi bersih dan sehat dikonsumsi? Bukankah kita sudah membayar dengan harga lumayan? Mereka mengolah air yang sudah baik kualitasnya, lalu tinggal filter sedikit terus dikemas.

Biarkan warga yang punya atau dekat sumber air bagus itu menikmati apa yang sudah dia jaga. Masa mereka harus beli air yang diambil dari tanah sendiri, dan harganya sama dengan orang yang tak pernah melakukan konservasi atau menjaga aset sumber daya air.

Pikiran ini masih menempel di kepala sampai kini. Entah apakah logis atau tidak.

Selain warga Peladung, saya pernah melihat sekelompok warga di pusat kota Denpasar membuat alat sterilisasi air sendiri untuk bisa dikonsumsi. Sebuah LSM melakukan pendampingan agar warga tidak tergantung pada air kemasan. Memang baru sedikit yang konsisiten menggunakan alat filter buatan tangan ini. Sebagian lagi sudah kembali beralih ke air kemasan karena sejumlah alasan.

Nah, sekarang baiknya kita bagaimana? Selain berupaya konsisten membawa botol air sendiri ke luar rumah. Saya, anak, dan suami. Kami masih ketergantungan air kemasan gallon, tapi sangat terbuka dengan ide lain yang memungkinkan sumber air tak secara massif diperjualbelikan. Dan ingat, selain perusahaan swasta, PDAM juga melakukan beberapa pengeboran. Jadi kampanye utama adalah hemat air. Ironisnya, di sisi lain banyak villa dibiarkan tak berizin padahal rata-rata punya kolam renang. Ah, memang benang kusut.

Saya sih tidak terlalu berueforia pada data-data krisis air yang dilontarkan pejabat. Karena ternyata retorika. Tapi fakta di depan mata saya, ada warga yang terancam kehilangan sumber-sumber air yang dijaganya. Ini lebih nyata.

 

One thought on “Kisah di balik air minumku dan minummu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *