All posts by luhde

Jurnalis lepas sejak 2003, mengasuh 2 anak laki-laki di Bali, dan ikut mendirikan Sloka Institute untuk menyebar virus NO NEUUS WITHOUT U. Mari berkolaborasi. Temui saya di twitter dan IG @lodegen.

Mending Membaui Aroma Cinta di Rumah Sakit, dibanding Sesak lihat Baliho Pilkada di Jalan

 

Teater Amor di AJW 2024. Foto Bandem Kamandalu.

Seminggu setelah malam puncak Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) kini. Suhu tubuh sudah tak lagi tinggi, sarapan terasa lebih nikmat. Semoga signal baik ya, masih disuruh tes darah sih.

Terlebih kami berempat di meja sarapan dengan banyak obrolan, mulai dari persiapan kuliah Bani di Jogja, makin banyaknya kasus nonconsesual videoporn pada anak yang dibahas ayah pada Bani dan Satori, dan saya bahas betapa bullshitnya sebuah acara reality show.

Saya merasa gejala demam berdarah saya berkurang. Semoga demikian setelah observasi seminggu ini. Sehari setelah AJW, badan lemas, suhu meninggi. Malam AJW adalah acara pertama dengan lebih dari 250 orang yang saya hadiri setelah beradaptasi hampir satu bulan cuci darah.

Saat itu saya merasa cukup segar karena antusiame, berencana hanya hadir 3 jam dan lebih banyak duduk. Tapi ternyata sampai 7 jam, dan masih hilir mudik. Bahkan saya ikut salah satu game maplianan yang harus lompat-lompat.

Ayah, dengan sigap menghampiri ketika saya maju ke lapangan untuk main. Dia berbisik sebaiknya saya tidak ikut karena berbahaya dengan double lumen, pipa saluran darah yang masih menempel di bawah leher, apalagi kalau saya jatuh. Bisa copot dan darah bocor.

Saya lupa hal ini. Hehe. Oke, saya akan melompat sedikit karena tim main sudah lengkap. Ternyata setelah lompat sedikit, emang terasa perih. Tim kami kalah karena saya memperlambat mereka.

Malam makin lamat, keriuhan masih berlangsung, saya merasa harus pulang jam 9. Tapi merasa harus menunda karena set Robi Navicula masih berlangsung dan perlu berterima kasih secara langsung, demikian juga menyalami para relawan AJW dan pengisi acara lain.

Tapi sehari setelahnya, saya dinyatakan gejala DB karena trombosit terus menurun, batuk kambuh. Lebih buruk lagi adalah suami harus keluar kota hampir seminggu. Jadilah selama seminggu ini saya setiap hari ke rumah sakit, beberapa kali dioper ke UGD, dan begitulah. Di rumah susah makan tapi harus karena tidak bisa minum banyak seperti anjuran ke pasien DB biasanya. Pasien gagal ginjal kebalikannya, tidak boleh over minum. Jadilah saya bertumpu pada buah apel dan pepaya untuk menambal nutrisi.

Tiga hari berturut saya tidak bisa tidur sama sekali. Batuk makin parah, badan menggigil. Bahkan pada suatu malam saya membatin, oh begini mungkin rasanya orang yang memutuskan bunuh diri karena sakit berlarut dan seolah tidak memiliki pilihan lain. Mungkin saya salah.

Hal lain yang saya takuti adalah dampak pada ginjal. Apalagi syarat cuci darah salah satunya gak bisa suhu tubuh di atas 37 derajat. Apa jadinya jika saya tidak bisa cuci darah? Saya sudah lihat beberapa pasien HD yang kelebihan air, badannya bengkak, sesak nafas.

Saya pun berstrategi, minta jadwal HD susulan jika saat jadwalnya saya gak memenuhi syarat karena alasan suhu tubuh. Saya berhitung kapan suhu tubuh naik, minum obat pereda panas pada saat yang tepat agar saat jadwal HD suhu tak naik. Saya pasrah saja, ketika petugas RS memindahkan saya ke ruang rontgen, ke UGD, dan lainnya. Mereka sungguh sabar mengurus pasien. Salut.

Di tengah pikuk dengan diri sendiri ini, saya selalu menemukan hal-hal baik. Saya lebih senang mengamati pasien-pasien dan keluarganya. Rasa cinta aromanya sangat pekat di rumah sakit. Dalam dua kelompok pasien HD pada jadwal berbeda, saya melihat pasangan lansia yang sangat teguh setiap hari saling menguatkan. Sang istri mengurus pendaftaran, menyiapkan bed HD dengan selimut tambahan, mengurut kaki dengan minyak hangat, memijit, dan kerap membisikkan sesuatu ke suaminya.

Seorang kakak yang rutin datang 2 jam setelah HD untuk menyuapi adiknya, dengan wajah lelah dari tempat kerja, saya tidak pernah dengar keduanya bicara. Mungkin bahasa cintanya lewat tindakan.

Seorang kakek yang sering ditunggui rombongan keluarga, menantu, anak, cucu. Menenangkan saat sesak nafas, selalu bertanya apa kebutuhannya, memijit. Daya tahan para lansia menghadapi penyakit ini begitu hebat. Saya tak bisa membayangkan, ketika umur demikian, tubuh sudah disangga kursi roda, masih harus bolak balik ruang operasi, kontrol ke klinik, RS, dan UGD setiap saat.

Tak semua pasien mendapat pendampingan. Setidaknya saya mengamati ada dua pasien yang selalu sendiri.

Maafkan aku, ayah, sering merengek biar dia mengurangi jadwal ke luar kota. Saya belum sekuat itu. Sejauh ini dia sudah mengurangi setengah jadwal, pasti pengorbanan besar untuk dia dan tim kerjanya.

Di bulan-bulan berikutnya saya membayangkan sudah bisa naik motor sendiri saat ke RS. Tapi seorang pasien pernah sharing pengalaman yang bikin mengkerut. Usai HD, ia naik motor sendiri dan saluran venanya bocor, darah bocor di jalan, karena ketegangan atau semacamnya saat pegang kemudi.

Sudahlah, saya pikir nanti saja. Terima kasih pada teman-teman yang terus mendukung, kawan-kawan Tim Mongabay Indonesia, Marlowe Bandem, Agung Alit yang terlalu banyak membantu. Semeton anak juragan soto karangasem (AJUS) yang begitu erat menyama braya, mendobrak hegemoni patriarkhi karena masih punya perhatian yang sama pada saudara perempuan. Karena di Bali, biasanya jika anak perempuan sudah menikah, dianggap hanya bisa bersandar pada saudara suaminya. Tapi keluarga AJUS tidak, dia tak meninggalkan member perempuan.

Mohon maaf pada jaringan dan pihak yang mengundang ke luar kota ikut event ini itu, minta jadi pelatih, dan lainnya. Saya belum bisa.

Lho kok jadi pidato, tetap waras ya menjaga Bali yang makin banyak baliho calon gubernur, bupati dari rezim otoritarian, selalu melanggar aturan kampanye. Belum menjabat sudah melanggar, apa yang kamu harapkan?

Terlebih minta mereka memikirkan akses kesehatan, pendidikan pada warga. Kekuasaan dan previlise begitu menyilaukan karena fasilitas negara pada pejabatnya di Indonesia negara yang masih kesulitan keuangan ini begitu dahsyat. Kritik sedikit masuk penjara. Gak heran, saya tidak merasakan sedikit pun harapan, hanya sesak di dada.

Lov.

Kisah-kisah dari Ruang HD

Freepik.com

Ruang hemodialisa atau HD. Ruang langgananku kini seminggu dua kali, tiap Senin dan Kamis. Mulai jam 1 sampai jam 6 sore.

Kini sudah 3 kali. Perubahannya dibanding pertama kali adalah sudah mulai tidak gugup, lebih rileks walau masih takut melihat darah sendiri di mesin HD. Apalagi kalau mesin berteriak memberi peringatan kalau ada masalah misalnya darah gak bisa ditarik, terlalu cepat tarikannya, dan hal lain yang belum kupahami.

Salah satu hal yang masih membatasi gerakku di ruang HD adalah posisi harus telentang karena double lumen, semacam pipa keluar masuknya darah ini masih di bawah leher kanan. Sedangkan tangan kiri susah bergerak karena baru operasi pemasangan alat, AV shunt, yang menghubungkan pembuluh darah arteri dengan vena untuk keluar dan masuknya darah.

Untungnya kuliah belum efektif. Sedang masa UAS. Saya masih ada satu mata kuliah yang belum ujian karena prosedurnya offline di Semarang. Sedang nego dosennya untuk bisa online.

Lalu apa hal untuk menyibukkan diri selama 4 jam cuci darah sejauh ini? Berusaha tidur, namun tak pernah sukses. Nonton film, dengar musik, meeting sekali, baca buku, dan bengong. Ingin sih ngobrol, berbagi lara dengan tetangga sebelah tapi dia sangat pendiam, mungkin lebih senang hening.

Untuk sesi berikutnya saya ingin bisa sambil kuliah, jika kondisi fisik memungkinkan dan menulis.

Bagaimana pun bengong dan tidak berpikir bukan sebuah opsi. Malah jadi mikirin penyakit.

Ohya, walau baru 3 sesi cuci darah, saya sudah punya cerita baru. Salah satu kelompokku, pasien termuda disebut gagal ginjal, salah satunya dipicu kebiasaan minum obat maag saat remaja. Mungkin ada pemicu lainnya. Kini dia sudah 6 tahun cuci darah, sejak usia 16 tahun.

Konsumsi obat maag rutin sepertinya makin jamak di kalangan anak muda terutama yang terbiasa begadang. Jadi ingat anakku. Segeralah cerita ini saya sampaikan ke anak sebagai pengingat.

Sementara ini dari beberapa cerita, kebanyakan pasien gagal ginjal dipicu oleh diabetes, hipertensi, dan batu ginjal.

Dokter bilang, ginjal adalah ibu organ tubuh kita. Dia yang akan bekerja keras membersihkan dan merawat organ lain. Jika rusak, maka organ lain tercemar.

Medical check-up saya terakhir September 2023. Ketika itu, yang dibahas oleh dokter yang membaca hasilnya hanya asam urat. Ketika saya cek lagi beberapa hari ini, ternyata sudah ada indikasi masalah ginjal dari kreatinin meningkat, nilainya 3 dari normal 1, tapi saat itu hal ini tidak dibahas sama sekali.  Saat itu ada tawaran minum obat hipertensu tapi dokter tidak menjelaskan saya harus minum obat setiap hari, jika tidak akan fatal. Saya baru minum obat 3 bulan terakhir karena tidak pernah merasakan gejala hipertensi seperti sakit kepala atau sakit lain. Secepat itulah ginjal rusak.

Ketika beberapa kawan menjenguk, ada juga yang berasumsi mungkin karena saya diet. Penurunan berat badan 2 tahun terakhir ini murni karena mengatur pola makan, menghitung kalori masuk dan keluar, dan jogging saja. Tidak pernah konsumsi obat kimia atau herbal diet.

Saat ini, saya tidak mau denial, kenapa saya? Apa riwayat sampai hipertensi? Saat ini adalah waktunya penerimaan dan menjalani seluruh prosesnya, termasuk hampir tiap hari ke faskes.

Apakah mengorbankan orang lain? Tentu saja. Ada suami yang harus membatalkan sejumlah pekerjaan di luar kota dan luar negeri. Ada anak-anak dan ibu yang khawatir, ikut merutuk diri. Apalagi ibu yang religius dan spiritual, apakah ada yang kurang dalam penyelenggaraan ritual selama ini? Punapi niki Ida Betara?

Ada kolega kantor yang keteteran bekerja karena saya tidak terlibat. Ada kawan di organisasi jurnalis yang merelakan saya lebih pasif.

Benarlah kata-kata mutiara, uang dan gelar tiada guna jika kamu sakit-sakitan.

 

 

Hidup Baru dengan Cuci Darah

Gagal ginjal. Cuci Darah. Hidup baru saya.

Berganti baju operasi, penutup kepala dan masker menuju ruang operasi. Tanpa sandal, lantai ruang operasi sangat dingin. Menunggu 30 menit untuk persiapan alat dalam sunyi dengan tanda tanya dan kerisauan membuncah. Apa yang akan terjadi? Katanya leherku dipasang selang untuk proses cuci darah.

Masuk ruang operasi, lantai makin dingin, baju dilepas sebagian, dibius lokal bagian bawah leher kanan, aku merasakan sayatan, kemudian tusukan, jaritan, dan dua perawat yang sibuk menyeka darah. Karena kepala harus mendongak, sangat sulit bernafas dan ini bikin tambah takut, ya tuhan cepatlah berakhir. Continue reading Hidup Baru dengan Cuci Darah

Kelam yang Menawan di Konser Suga/Agust D

Foto-foto Luh De

 

Parade outfit gelap, dominan hitam, sebagian berjilbab, dan wajah-wajah luar biasa sumringah memenuhi arena konser Suga/AgustD di hari 3, ICE BSD, Tanggerang, 28 Mei 2023. Rasa hangat juga menyeruk di arena saat penonton menunggu antrean masuk venue konser. Saat antre toilet, saya melihat seorang menawarkan tisunya karena tisu toilet habis.

Di sekitar light banner utama, para Army saling bantu memotret. Ada yang berbagi freebies, semacam suvenir gratis seperti sticker, kue, minuman, poster, berbagai desain unik merespon profil Suga. Jangan ditanya berapa ratus warga yang meraup rejeki dadakan dari berbagai barang mirip merchandise resmi konser yang dijual di sekitar venue. Kipas, foto, kaos, name tag, bahkan desainnya sangat mirip dengan yang dijual di booth merch. Jika panitia hendak merazia para pedagang karena menyontek dan melanggar hak cipta, sangat mudah. Tapi para pedagang masih bertahan dari pagi sampai tengah malam, berdagang dengan damai. Continue reading Kelam yang Menawan di Konser Suga/Agust D

Parahidup, Bekal Menghadapi Keruwetan Manusia

Intro Dalam Kedangkalan memecah hiruk pikuk Pasar Kumbasari senja itu dari pinggir Tukad Badung. Sekonyong-konyong saya segera menyelesaikan pembayaran di sebuah kios buah.

Betapa dekat jarak kita tuju, semua hati telah membuka pintu. Batapa banyak yang kita raih. Kita terbangun saat mereka baru bermimpi.” Continue reading Parahidup, Bekal Menghadapi Keruwetan Manusia

Habis Panik, Panen Asyik: Pengalaman Pertama Menghebohkan dengan Menstrual Cup

sumber: webmd.com

Saya panik. Setelah lebih 5 jam si cawan ninja ini bersembunyi dalam liang vagina, saya tidak bisa meraihnya. Waduh, dia masuk ke rahim. Bagaimana ini?

Jari jempol dan ibu jari menrogoh vagina, berusaha menarik pucuk ekor cawan (stem) tapi tak bisa. Licin dan sangat kuat menancap. Continue reading Habis Panik, Panen Asyik: Pengalaman Pertama Menghebohkan dengan Menstrual Cup

Musik Indonesia untuk Laut Bercerita

sumber: iwanfals.co.id

Novel 389 halaman “Laut Bercerita” baru saja saya selesaikan. Bagian paling maraton yang dibaca malah di puluhan halaman terakhir. Saat Asmara Jati, menjadi tokoh utama menarasikan apa yang terjadi setelah kakak dan teman-temannya tak kunjung kembali setelah diculik dan disiksa tentara jelang kelengseran Suharto.

Bapak hidup digerogot kesedihan, Mas. Sejak kau diculik; sejak kawan-kawanmu yang diculik dikembalikan dan sebagian tetap tak ada kabarnya seperti dirimu;……. Continue reading Musik Indonesia untuk Laut Bercerita

Mengisi Celah Peran Ortu di Sekolah

Belajar dan bermain adalah hak anak. Foto: Luh De Suriyani

Menjadi anggota Komite Sekolah di sekolah dasar anak-anak saya membuka mata jika pendidikan memerlukan peran serta orang tua lebih intens. Salah satunya memberi jeda pada rutinitas sekolah yang super padat dengan kegiatan yang kontekstual.

Misalnya usulan seorang anggota Komite baru-baru ini untuk memberi usul sekolah membuat simulasi dan pendidikan evakuasi gempa bumi pada siswa. Kepala Sekolah langsung merespon dengan membuat simulasi evakuasi gempa bumi secara mandiri setelah gempa bumi 7 SR yang merubuhkan ratusan rumah di Lombok, NTB. Continue reading Mengisi Celah Peran Ortu di Sekolah