Intro Dalam Kedangkalan memecah hiruk pikuk Pasar Kumbasari senja itu dari pinggir Tukad Badung. Sekonyong-konyong saya segera menyelesaikan pembayaran di sebuah kios buah.
“Betapa dekat jarak kita tuju, semua hati telah membuka pintu. Batapa banyak yang kita raih. Kita terbangun saat mereka baru bermimpi.”
Dari atas jembatan yang menghubungkan Pasar (modern) Badung dengan Pasar Seni Kumbasari, trio folkies Dadang-Zio-Deny Surya sudah diterpa cahaya lighting warna warni, pada senja 16 Oktober 2019.
Lagu ini pas sekali untuk Parahidup yang memacu detak jantung pasar Kumbasari yang baru menggeliat sore itu. Pasar ini makin pikuk jelang dini hari. Pedagang merapikan sayur, buah, dan aneka bumbunya. Buruh pasar masih hilir mudik mengangkut dagangan dari pick-up ke los-los pelanggan mereka.
Ngonser di dekat pasar juga membantu panitia, penonton, dan pedagang. Beli makan dan minum tinggal pilih, ndak perlu buat stan-stan tambahan.
Warga memenuhi jembatan untuk menonton keriuhan di tepi sungai. Penonton dipisahkan aliran sungai. Wah, penataan yang ciamik, lebih baik dibanding konser-konser sebelumnya di Tukad Badung ini. Sebelumnya panggung besar dibangun di atas aliran sungai, di bawah jembatan. Perlu sumberdaya cukup besar. Sementara tim kreatif DDH memanfaatkan panggung tepi sungai, tempat nongkrong yang sudah ada. Kerja kerasnya di menggotong alat-alat naik turun jembatan.
Dari jumpa pers, DDH memberi kredit pada salah satu tim kreatif mereka, Bintang, pria muda tapi terlihat tua 🙂 yang sukses menghelat Pica Fest. Bintang konon salah satu bintang di kehidupan Dadang yang terlihat introvert.
Ada juga om Saylow. Om juga bintang dalam orbit Dadang. Sebelum konser dihelat, ia sempat merangkum usulan-usulan lokasi konser DDH. Syaratnya, ruang publik di mana warga biasa berkegiatan, dan biaya sewa terjangkau. Karena ini konser gratis untuk rilis album.
Jadi, ini tercium seperti konser dari orang-orang terkasih mereka. Uhm, apakah luapan sayang ini kan meruap ke udara, memenuhi bongkol hidung kita, menyusup ke sel-sel otak? Sayangnya tidak bisa mengalahkan bau limbah di Tukad Badung petang itu.
Setelah Dalam Kedangkalan, menyusul Kawanku, Hyena, Peran Terakhir, Sediakala, dan Tikus. Sound-nya enak sekali, pas, tidak berlebihan. Lagu-lagu ini mengalir, menghidupkan suasana sungai dan pasar. Saya beberapa kali menatap ke jalan raya Gajah Mada di atas jembatan dan lampu-lampu kios pedagang makin terang. Derap hidup ini mendampingi musik Dialog Dini Hari.
Ibarat sedang mandi di bawah pancuran, eh mendadak alirannya tersumbat. DDH menyudahi konser singkat ini. Penonton protes, lalu ditambah dua lagu dari track album lama. Mereka buru-buru harus pindah ke Hard Rock Cafe, panggung marathon berikutnya. Yahhhh….. parahidup tua nan ambisius.
Tentang ambisi, eh, produktivitas, Dadang punya alasan kenapa album ini dibuat dengan jarak 5 tahun dari album sebelumnya. Ia laris konser bersama Navicula. Ia menyebut sketsa Parahidup sudah ada 2018, lalu ditinggal konser bersama Navicula ke Eropa.
“Parahidup itu yang semua yang hidup,” Dadang menjawab pertanyaan di talkshow jumpa media, 15 Oktober di Hari Ini Coffee, Denpasar. Warung kopi dan distro gengnya Bintang. Pisang gorengnya enak sekali, empuk dan nyangluh.
Kata “Parahidup” tak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menyimak 11 lagu yang dilansir 17 Juli lewat laman-laman musik digital ini, menemukan apa yang dimaknai Parahidup tak sulit. Bahkan, saya bisa menyebut album ini parade biodiversitas, secara verbal ada kehidupan tikus, hyena, laba-laba, anjing, belalang sembah, dan lainnya. Satwa dalam personifikasinya yang paling mengakar di benak manusia.
Karena Dadang tak bisa bahasa hewan, dia hanya menekuni bahasa kalbu manusia. Evolusi lanjutan setelah Tentang Rumahku, album DDH lima tahun lalu.
Jika aku laba-laba Kan kubiarkan tubuhku kau lahap
Setelah bercinta
Agar aku tak pernah bercinta lagi
Tak bisa bercinta lagi
Jika aku seekor anjing
Kan ku kencingi kau
Agar anjing lain tahu kau milikku
Jika aku belalang sembah
Kan kubiarkan kepalaku kau penggal
Seusai membuahimu
Agar aku tak bisa membuahi perempuan lain
Tapi aku cuma manusia
Cinta dan rindu yang sederhana
Tapi aku cuma manusia
Cinta dan rindu yang sederhana
Jerit Sisa yang meruntuhkan ego dan serakah manusia. Inilah Dialog Dini Hari, lagu Tikus pun diorkestrasi menjadi ajakan bersih-bersih. Aransemennya asyik.
Setelah becermin, mereka memberi tanda peringatan atau hitung mundur sebelum pralaya. Setelah ini mungkin albumnya Moksa. Jangan ya, langsung melampui saja, Reinkarnasi.
Deny Surya membagi cerita jika proses rekaman album ini berbeda. Jika sebelumnya merespon bunyi, sekarang sekaligus ketika bunyi diciptakan ketiganya. Saking intensnya, mereka melarang manajemen nimbrung ke studio selama dua minggu proses produksi. Risikonya, mereka tak memiliki dokumentasi layak saat rekaman di studio. “Ketika saya menyodorkan konsep, Deny dan Dadang wasitnya,” tambah Zio menjelaskan “battle” dalam mencipta Parahidup.
Zio barangkali menang banyak karena piano dan syntesizer cukup menyentak di album ini. Sebelum Parahidup rilis, Zio menumpahkan energinya di solo album See The Sun.
Pertempuran nada ini diramaikan musisi pendukung seperti Aik Krisnayanti sebagai vokal latar di lagu “Tikus” dan “Jerit Sisa”, Celtic Room di biola & whistle di lagu “Pralaya”, serta Fendy Rizk yang memainkan Cello di lagu “Kuingin Lihat Wajahmu”.
Proses rekaman dilakukan sepanjang September-Oktober 2018 di Antida Studio dan Straw Sound Studio, Denpasar, oleh Deny Surya dan Arul. Kecuali vokal di lagu Dalam Kedangkalan, Pralaya, Peran Terakhir, dan Hyena direkam di Amplify Recording Studio, Nitra Slovakia, oleh Ondrej Vydaren. Seluruh lirik ditulis Dadang, kecuali Jerit Sisa oleh Dadang dan Ulan Sabit.
Walau kurang bersyukur dengan kerendahan hati tim konser di Tukad Badung ini, saya berterima kasih pada Dadang Pranoto (vokal dan gitar), Brozio Orah (bas, piano, synthesizer, dan vokal latar), serta Deny Surya (drum dan perkusi), dan musisi lain yang mewujudkan Parahidup. Karena hidup sederhana itu adalah merayakan keruwetannya.