Seminggu setelah malam puncak Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) kini. Suhu tubuh sudah tak lagi tinggi, sarapan terasa lebih nikmat. Semoga signal baik ya, masih disuruh tes darah sih.
Terlebih kami berempat di meja sarapan dengan banyak obrolan, mulai dari persiapan kuliah Bani di Jogja, makin banyaknya kasus nonconsesual videoporn pada anak yang dibahas ayah pada Bani dan Satori, dan saya bahas betapa bullshitnya sebuah acara reality show.
Saya merasa gejala demam berdarah saya berkurang. Semoga demikian setelah observasi seminggu ini. Sehari setelah AJW, badan lemas, suhu meninggi. Malam AJW adalah acara pertama dengan lebih dari 250 orang yang saya hadiri setelah beradaptasi hampir satu bulan cuci darah.
Saat itu saya merasa cukup segar karena antusiame, berencana hanya hadir 3 jam dan lebih banyak duduk. Tapi ternyata sampai 7 jam, dan masih hilir mudik. Bahkan saya ikut salah satu game maplianan yang harus lompat-lompat.
Ayah, dengan sigap menghampiri ketika saya maju ke lapangan untuk main. Dia berbisik sebaiknya saya tidak ikut karena berbahaya dengan double lumen, pipa saluran darah yang masih menempel di bawah leher, apalagi kalau saya jatuh. Bisa copot dan darah bocor.
Saya lupa hal ini. Hehe. Oke, saya akan melompat sedikit karena tim main sudah lengkap. Ternyata setelah lompat sedikit, emang terasa perih. Tim kami kalah karena saya memperlambat mereka.
Malam makin lamat, keriuhan masih berlangsung, saya merasa harus pulang jam 9. Tapi merasa harus menunda karena set Robi Navicula masih berlangsung dan perlu berterima kasih secara langsung, demikian juga menyalami para relawan AJW dan pengisi acara lain.
Tapi sehari setelahnya, saya dinyatakan gejala DB karena trombosit terus menurun, batuk kambuh. Lebih buruk lagi adalah suami harus keluar kota hampir seminggu. Jadilah selama seminggu ini saya setiap hari ke rumah sakit, beberapa kali dioper ke UGD, dan begitulah. Di rumah susah makan tapi harus karena tidak bisa minum banyak seperti anjuran ke pasien DB biasanya. Pasien gagal ginjal kebalikannya, tidak boleh over minum. Jadilah saya bertumpu pada buah apel dan pepaya untuk menambal nutrisi.
Tiga hari berturut saya tidak bisa tidur sama sekali. Batuk makin parah, badan menggigil. Bahkan pada suatu malam saya membatin, oh begini mungkin rasanya orang yang memutuskan bunuh diri karena sakit berlarut dan seolah tidak memiliki pilihan lain. Mungkin saya salah.
Hal lain yang saya takuti adalah dampak pada ginjal. Apalagi syarat cuci darah salah satunya gak bisa suhu tubuh di atas 37 derajat. Apa jadinya jika saya tidak bisa cuci darah? Saya sudah lihat beberapa pasien HD yang kelebihan air, badannya bengkak, sesak nafas.
Saya pun berstrategi, minta jadwal HD susulan jika saat jadwalnya saya gak memenuhi syarat karena alasan suhu tubuh. Saya berhitung kapan suhu tubuh naik, minum obat pereda panas pada saat yang tepat agar saat jadwal HD suhu tak naik. Saya pasrah saja, ketika petugas RS memindahkan saya ke ruang rontgen, ke UGD, dan lainnya. Mereka sungguh sabar mengurus pasien. Salut.
Di tengah pikuk dengan diri sendiri ini, saya selalu menemukan hal-hal baik. Saya lebih senang mengamati pasien-pasien dan keluarganya. Rasa cinta aromanya sangat pekat di rumah sakit. Dalam dua kelompok pasien HD pada jadwal berbeda, saya melihat pasangan lansia yang sangat teguh setiap hari saling menguatkan. Sang istri mengurus pendaftaran, menyiapkan bed HD dengan selimut tambahan, mengurut kaki dengan minyak hangat, memijit, dan kerap membisikkan sesuatu ke suaminya.
Seorang kakak yang rutin datang 2 jam setelah HD untuk menyuapi adiknya, dengan wajah lelah dari tempat kerja, saya tidak pernah dengar keduanya bicara. Mungkin bahasa cintanya lewat tindakan.
Seorang kakek yang sering ditunggui rombongan keluarga, menantu, anak, cucu. Menenangkan saat sesak nafas, selalu bertanya apa kebutuhannya, memijit. Daya tahan para lansia menghadapi penyakit ini begitu hebat. Saya tak bisa membayangkan, ketika umur demikian, tubuh sudah disangga kursi roda, masih harus bolak balik ruang operasi, kontrol ke klinik, RS, dan UGD setiap saat.
Tak semua pasien mendapat pendampingan. Setidaknya saya mengamati ada dua pasien yang selalu sendiri.
Maafkan aku, ayah, sering merengek biar dia mengurangi jadwal ke luar kota. Saya belum sekuat itu. Sejauh ini dia sudah mengurangi setengah jadwal, pasti pengorbanan besar untuk dia dan tim kerjanya.
Di bulan-bulan berikutnya saya membayangkan sudah bisa naik motor sendiri saat ke RS. Tapi seorang pasien pernah sharing pengalaman yang bikin mengkerut. Usai HD, ia naik motor sendiri dan saluran venanya bocor, darah bocor di jalan, karena ketegangan atau semacamnya saat pegang kemudi.
Sudahlah, saya pikir nanti saja. Terima kasih pada teman-teman yang terus mendukung, kawan-kawan Tim Mongabay Indonesia, Marlowe Bandem, Agung Alit yang terlalu banyak membantu. Semeton anak juragan soto karangasem (AJUS) yang begitu erat menyama braya, mendobrak hegemoni patriarkhi karena masih punya perhatian yang sama pada saudara perempuan. Karena di Bali, biasanya jika anak perempuan sudah menikah, dianggap hanya bisa bersandar pada saudara suaminya. Tapi keluarga AJUS tidak, dia tak meninggalkan member perempuan.
Mohon maaf pada jaringan dan pihak yang mengundang ke luar kota ikut event ini itu, minta jadi pelatih, dan lainnya. Saya belum bisa.
Lho kok jadi pidato, tetap waras ya menjaga Bali yang makin banyak baliho calon gubernur, bupati dari rezim otoritarian, selalu melanggar aturan kampanye. Belum menjabat sudah melanggar, apa yang kamu harapkan?
Terlebih minta mereka memikirkan akses kesehatan, pendidikan pada warga. Kekuasaan dan previlise begitu menyilaukan karena fasilitas negara pada pejabatnya di Indonesia negara yang masih kesulitan keuangan ini begitu dahsyat. Kritik sedikit masuk penjara. Gak heran, saya tidak merasakan sedikit pun harapan, hanya sesak di dada.
Lov.