Sanjay, seorang desainer muda sudah merasakan membuat desain kampanye kondom seperti melatih nalar, mempelajari budaya, dan mengasah kreativitas.
Selama beberapa pekan Ia dan timnya berdiskusi, bertemu dengan aktivis penanggulangan AIDS di Bali untuk menerjemahkan budaya dan perilaku pemakaian kondom. Bagi pria single 🙂 seperti Sanjay Ia tak punya banyak persepsi mengenai kondom.
“Ternyata kondom tak hanya sebuah benda tapi juga ada budaya-budaya yang berbeda di penggunanya,” kata Sanjay yang juga musisi sebuah band indie di Bali ini. Desain awal Sanjay adalah sebuah visual kondom pria dalam berbagai warna yang diisi teks pendek.
Setelah melewati sejumlah perbincangan dengan teman waria, gay, dan lainnya, desainnya berubah. Ia membuat desain berbentuk mulut, penis, dan beberapa role model sedang memegang kondom. Ini media komunikasi komunitas untuk gay dan waria. Menurut saya, media kampanye ini bisa disebarluaskan di masayarakat luas juga karena toh kita melakukan hubungan seks seperti oral dan anal juga. Namun, di Indonesia, pencitraan moralitas masih menjadi hambatannya.
Istilah kondom pun berbeda. Di komunitas gay dan waria, dikenal bahasa binan, “candy.” Namun tak sedikit juga gay dan waria lebih suka istilah umum, kondom. Sementara di kegiatan-kegiatan penyuluhan masyarakat luas, para penyuluh masih gemar menggunakan istilah “pengaman.” Saya pikir, kurang tepat dan bias. Lebih pas, kondom saja.
Ini baru istilah. Cara kampanye juga terus berubah. Dulu, kondom dikampanyekan untuk menakut-nakuti. Kini, lebih ke perspektif positif. Misalnya memperlihatkan orang senang, bahagia, dan nampak sehat jika memakai kondom dan melakukan hubungan berisiko terinfeksi HIV atau terpapar infeksi menular seksual (IMS).
Kondom, benda kecil namun berdampak luar biasa. Mengampanyekan kondom sebagai bagian gaya hidup kini makin penting. Terlebih, melihat fakta perilaku penggunaanya di kelompok berisiko tinggi.
Yayasan Gaya Dewata mengkampanyekan kondom melalui jejaring social, misalnya dalam upaya perluasan jangkauan. Menurut Made Arya, coordinator program, sangat penting menjangkau gay sedini mungkin di Bali, terutama yang baru datang dari luar kota untuk mencegah penularan HIV dan IMS. Karena itu, internet cara yang cukup strategis. Lima petugas lapangan khusus penjangkauan gay di Gaya Dewata akan mencoba membuat kontak dan kalau bisa mengajak ketemu.
Data infeksi HIV di kalangan gay dan waria menurut Arya masih cukup tinggi. Selama 9 bulan terakhir, Ia mengutip data rujukan, dari 691 orang sebanyak 14% atau 96 orang yang positif.
Selain itu, Arya juga mengutip data terakhir klinik khusus gay, Bali Medika di Seminyak yang menyebut 17% positif dari 652 orang yang tes selama setahun terakhir. “Sebagian klien yang kami jangkau, dirujuk untuk tes ke klinik itu,” jelas Arya. Ia mengatakan ini masih puncak gunung es, karena semakin banyak yang tes, maka semakin banyak yang diketahui positif.
Dani Rifky, salah satu petugas lapangan penjangkau khusus gay mengatakan risiko penularan HIV di kalangan gay ini lebih banyak karena tidak konsisten menggunakan kondom. “Mereka tidak mau pakai kondom kalau merasa sama pasangan tetapnya,” kata pria muda ini. Padahal, pasangan ini belum tes HIV atau merasa cukup hanya tes HIV sekali saja.
“Padahal banyak yang masih periode jendela, belum teridentifikasi virusnya karena cuma mau tes sekali,” tambah Dani. Karena itu, salah satu kampanye dan penyuluhan Gaya Dewata adalah melakukan tes HIV rutin karena biayanya gratis.
Dani mengatakan gay masih lebih sulit dijangkau dibanding waria walau jumlahnya jauh lebih banyak. “Kami sering datang ke kos karena mereka biasanya berkelompok, lewat satu orang kenalan saja dulu,” tambahnya.
Gaya Dewata hanya melakukan penjangkauan di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Buleleng. Tiap klien mendapat alokasi kondom gratis 15 sachet dan 8 sachet pelicin.
Demikian juga di kelompok pekerja seks perempuan dan pelanggannya. Hasil survey perilaku Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar menemukan hanya 39% pekerja seks yang konsisten menawarkan dan menggunakan kondom dengan pelanggannya dalam seminggu terakhir. Sebagian besar alasannya tidak enak, pasangan menolak kondom yang ditawarkan, dan pasangan mengancam batal bertransaksi.
“Temuan ini menunjukkan penggunaan kondom secara konsisten masih rendah karena pelanggan masih tinggi penolakannya,” ujarTri Indarti, Sekretaris KPA Denpasar, Kamis.
Menurut target dan idealnya penggunaan kondom secara konsisten minimal 60% untuk mampu menurunkan risiko penularan HIV. Survei ini dilakukan pada Maret tahun lalu dengan metode acak di 240 responden pekerja seks langsung di delapan lokalisasi sekitar Denpasar. Survei terbaru baru dilakukan akhir Desember ini dan hasilnya barangkali baru dipublikasikan beberapa bulan ke depan.
Penggunaan kondom tertinggi hanya di hubungan seks terakhir. Sebanyak 80% pekerja seks menyatakan menawarkan dan menggunakan kondom pada hubungan seks terakhirnya dengan pelanggan. Yang membuat capaian penggunaan kondom rendah, menurut survey ini ada 5% responden yang mengaku mabuk pada saat melakukan hubungan seks.
Pengetahuan pekerja seks ini tentang kondom dari bos atau petugas LSM dinilai cukup karena penyuluhan diadkan rutin dua bulan sekali. Selain itu ada juga pemeriksaan kesehatan rutin tiga bulan sekali ke klinik khusus atau Puskesmas yang sudah bekerja sama dengan KPA.
“Walau pengetahuan cukup, tapi belum sepenuhnya bisa mengubah perilaku mereka,” kata Tri, perempuan yang kerap keluar masuk lokasi seks di Denpasar ini.
Di luar kelompok berisiko tinggi, kondom juga penting menjadi bagian percakapan kesehatan reproduksi. Banyak perempuan yang tidak berani memasang IUD atau KB pasang karena sejumlah ketakutan. Tak terhitung yang tak cocok dengan kontrasepsi hormonal macam suntikan atau pil.
Belum lagi, makin banyak ibu yang tertinfeksi HIV dari pasangannya yang emoh kondom. Menegoisasikan kondom kini adalah tentang tawar menawar masa depan. Sekarang tinggal mengadaptasikan dengan bahasa dan budaya setempat. Kondom, candy, atau?
Permasalahan saat ini, yang nyata adalah, banyaknya atau mungkin kita bisa katakan meningkatnya budaya seks bebas, dan ini tampaknya fakta di lapangan. Seakan-akan saat ini menjadi sesuatu yang lumrah.
Bahkan beberapa survei yang saya baca di media masa juga menyebutkan demikian. Meskipun menuai banyak kritikan, saya sendiri tidak melihat solusi lain yang saat ini cukup praktis diterapkan dalam upaya mencegah penularan PMS selain penggunaan kondom.
begitu masuk paragraf delapan, mulai terasa kalo tulisan ini salin tempel dari berita. 😀 padahal itu cerita ttg sanjay bagus banget lho. apalagi kalau dia dikasih candy juga sama sofie. 😀
ih pede banget bilang saltem. copas kali? yang penting kan hasil tulisan sendiri. daur ulang kan bagus untuk hemat listrik 🙂
Iya, bener kata anton. Jadi seperti baca berita di koran. 🙂
Apa kabar luh? Masih betah sama anton? :p
ah maca cih? belum dibaca kali? kepanjangan yak? haha. ah pertanyaanmu ga usah dijawab. buktinya aku masih betah pake kondom. hihi. kamu engken di BPM? apa kabar reni? salam nah
Komennya per paragraf toh 😐