Category Archives: Jalan-jalan

Jalan-jalan Thailand 5 Hari dengan 2 Anak

Perjalanan ini sebelum akhir tahun 2016 lalu, tapi baru ditulis. Niatnya berbagi sekaligus melengkapi itenarary Thailand untuk orang tua dengan 2 anak di bawah 10 tahun.

Soal jadwal, tentu saja menghindari pikuk tahun baru. Terlebih Thailand dikunjungi lebih dari 30 juta wisman pada 2016. Setengah dari jumlah penduduknya yang 65 juta. Jadi, tiap tahun dari rata-rata dua penduduk ada 1 turis klincang klincung di Thai. Continue reading Jalan-jalan Thailand 5 Hari dengan 2 Anak

Kisah di Balik Kuliner Semarang

image

“Mbak, saya daftar perjalanan ke Semarang karena kangen lumpia,” kata saya berkali-kali ke panitia famtrip #SemarangHebat.

Tak hanya dapat lumpia, juga kisahnya. Dan tak hanya narasi soal lumpia. Juga es Cunglik (dibaca conglik), lontong Cap Go Meh, dan sego Kethek. Hikz, kisah di balik bandeng Juwana kelewatan karena LionAir Dps-Sby-Smg delay hampir 4 jam saat transit Surabaya. Isshh…

3:03 AM hari Rabu di Denpasar saat ngblog via ponsel ini, tiga hari setelah balik Semarang saya masih punya stok lumpia udang dan ayam di kulkas. Sarapan hari ke-3 dengan lumpia. Oh bahagia.

Continue reading Kisah di Balik Kuliner Semarang

Digigit di Sumba Timur

Kunjungan pertama saya di Sumba Timur adalah “gigitan” dari anak-anak negeri savana ini.

Usai makan siang dari bandara dijemput Yunae dari Wahana Visi Indonesia area Sumba Timur kami menuju kantor. Ibukota kabupaten, Waingapu tampak gersang, sedikit pepohonan di pinggir jalan dan musim panas yang makin membara di khatulistiwa. Bali juga sedang panas-panasnya.

Saya diajak ngadem di ruangan ber-AC. Kantor @SlokaInstitute di Denpasar AC juga tapi merek angin cepoi-cepoi dari kipas angin yang kadang berbunyi ngik-ngik. Continue reading Digigit di Sumba Timur

#kayuhkepeken

Tengkyu @antonemus sepeda mininya.

Ketika SD saya bermimpi punya sepeda mini. Membayangkan kayuh sepeda mini dengan keranjang berisi tas dan vas bunga jika piket. Trus gonceng temen di belakang. Uh…

Namun yang dapat sepeda kakak pertama saya, sebuah Federal yang hip ketika 90an. Saya tak memimpikan sepeda mini lagi.

Hingga muncullah penampakan sepeda mini biru dwpan kamar saat usia saya beranjak 34 tahun! Kasih semesta. Continue reading #kayuhkepeken

Subak Sembung Merintis Ekowisata di Tengah Kota

DSC06109

Jro Mangku Pura Dalem Khayangan di Jalan Ahmad Yani, Denpasar Utara ini memimpin upaya perlindungan lahan sawah dan tata ruang desanya. Setahun terakhir ini, warga Desa Peguyangan Utara belajar mengelola ekowisata Subak Sembung sebagai strategi pencegahan alih fungsi lahan pertanian dan mempertahankan jalur hijau tersisa di Kota Denpasar.

Jro Mangku yang bernama lahir Made Suastika ini berharap mendapat masukan dari pengunjung untuk mendorong pengelolaan ekowisata subak yang berkelanjutan. “Silakan beritahu jika ada yang tidak pas. Kami masih belajar,” katanya rendah hati.

Pria ini bertutur kata teratur dan senang berbagi proses dan mimpi desa mereka. Sebelum memasuki gerbang besi pintu masuk areal persawahan Subak Sembung sekitar 115 hektar ini, ada sebuah pura Dalem dan setranya yang apik dan teduh. Continue reading Subak Sembung Merintis Ekowisata di Tengah Kota

Kuliner Ngangenin dari Nusa Lembongan

Foto: Luh De
Foto: Luh De

Nasi Lekutuh Campur dan Bubuh Komak khas Lembongan ini diserbu warganya sendiri saat dijual di Nusa Penida Festival. Dua menu ini disebut belum ada yang menjual dan kini makin jarang dimasak sendiri di rumah-rumah.

“Ini masakan masa kecil saya. Ketika ketela banyak sekali dibudidayakan dan jadi menu sehari-hari. Sebelum beras menggantikannya,” kenang Gede Adi. Ia menikmati suapan demi suapan dari sepiring Bubuh Komak.

Ketela juga kenangannya akan kampungnya, Nusa Lembongan yang terus berubah dan makin padat akomodasi wisata. Ketela makin sulit dicari karena kebun alih fungsi dan ketergantungan pada beras. Continue reading Kuliner Ngangenin dari Nusa Lembongan

#tulambenmacangersang

image

Masih berasa antara takjub dan aneh dengan pilihan tagline para pewarta warga desa Tulamben ini. Eh, kalian tahu atau pernah dengar nama desa ini kan.

Biar tak makin takjub karena ada yang mention @BaleBengong dan bilang Bali Timur itu kurang peradaban karena seolah tak ada yang update tentang Karangasem di socmed.

image

Balik ke macan gersang. Kata-kata ini tetiba dilontarkan beberapa peserta kelas jurnalisme warga @slokainstitute dan CI Indonesia saat merancang materi kampanye.
Apa itu? Tulamben manis, cantik, dan merangsang.

Ternyata akronim macan gersang sering dipakai oleh warga desa ini sebelumnya. Cocok sih, karena berada di antara Gunung Agung dan Selat Lombok membuat kamu terangsang.

Secara harfiah, iya gersang. Tapi merangsang. Pokokne #melali malu ke timur Bali mare dadi ngomong soal peradaban.

Temukan geng pewarta macan gersang ini di fb group: Tulamben Macan Gersang. Termasuk untuk rekomendasi guide lokal, rekomen kuliner, pemandu selam, dan diskon alat snorkeling sampai penginapan.

Di grup anyar ini ada guru, pelajar, jero mangku, pemandu selam, pekerja BUMDes, anak ibu dagang warung Putu langganan makan siang kelas ini, dan lainnya. Pokoknya desa boleh gersang tapi menenangkan.

Makanan lokal di pusat keramaian turis

IMG_2677

Camilan dan jajanan lokal adalah salah satu buruan saya kalau ke luar kota. Jika repot mencari di pusat kota atau jalanan, maka saya pergi ke pasar tradisional. Nah, sayangnya pasar ini biasanya baru buka pagi sekali dan tutup sore hari. Padahal, break atau rehat dari pertemuan atau diskusi ya pasti petang sampai malam hari. Di mana mencari jajanan lokal ini?

Mari kita bandingkan di Denpasar, Makassar serta Jakarta. Tiga kota besar yang mirip dari segi semerawut dan landmark pesisirnya. Bulan lalu saya ke Makassar lagi. Hanya menginap dua hari satu malam di salah satu hotel di kota tersebut. Maklum, masih punya anak di bawah tiga tahun, jadi bawaannya masih klangenan.

Makassar malam hari? Salah satu tujuannya pasti Losari. Di sini memang ada deretan pedagang kaki lima kuliner lokal macam pisang epe, minuman hangat saraba’, dan lainnya. Pisang epe ini pisang muda yang dibakar sebentar trus digeprak dengan kayu agar jadi gepeng. Lalu dilumuri topping manis aneka varian.

Di Jakarta, kata teman saya yang belum lama berkunjung ke sana jajanan seperti ini ada juga, yaitu pisang yang dibakar dan nantinya dikasih topping aneka rasa, baik manis dan pedas. Dari segi jajanan, Jakarta ini memang tidak terlalu bervariasi seperti Bandung, tetapi ada pusat-pusat yang memang khusus menjajakannya. Sebut saja area Pasar Baru, tempat yang menjual aneka produk ini menjajakan berbagai kebutuhan, termasuk kuliner. Tempat ini juga dilengkapi dengan fasilitas yang memadai untuk para turis yang berkunjung ke Jakarta, seperti Busway, penginapan dan hotel-hotel murah di Jakarta. Jadi sekilas ada kemiripan kuliner antara satu kota dengan kota lainnya di Indonesia ini, walaupun memang beda nama dan cara penyajiannya.

Bagaimana kalau di Bali? Nah ini, lebih ruwet menemukan pusat penganan lokal pada malam hari. Mari kita coba telusuri. Salah satu pusat makanan malam hari adalah pasar senggol. Memang jauh berbeda dengan duduk di pantai sambil santai. Di pasar senggol, tempat berhimpitan, nyenggol sana sini, dan bising.

Tapi ada beberapa pasar senggol yang relatif lebih lapang, seperti pasar Senggol Tabanan, Gianyar, dan Bangli. Semuanya di luar kota Denpasar. Biasanya penganan lokal yang ada Jaje Bali, Jukut Serombotan, dan Es Campur. Kalau di Denpasar, salah satu teramai di Kreneng. Sumpek dan kurang banyak varian penganan lokalnya.

Pernah membayangkan, di Denpasar ada satu kawasan yang bisa jadi lokasi tempat ngongkrong khususnya penganan lokal di malam hari. Bisa di lapangan timur Lapangan Renon atau Lapangan Puputan Badung. Beri mereka tempat, buat mekanisme penataan dan sanitasinya. Di dua kawasan pusat kota dan ramai ini yang bisanya terlihat malah Satpol PP yang mengejar-ngejar pedagang kaki lima agar tak berjualan di lapangan.

Denpasar juga tiap tahun membuat banyak festival dan beri stan untuk beberapa penganan lokal. Tapi ini cuma beberapa hari dan sifatnya seremonial. Seolah hanya pajangan. Tidak untuk dukungan berkelanjutan. Apalah artinya keliling nusantara tanpa menikmati kuliner lokalnya? Apalagi sambil nongkrong malam hari dan cuci mata.

 

Svara Bumi di ibukota untuk #tolakreklamasitelukbenoa

Hastag #balitolakreklamasi beberapa kali direspon dengan komentar, “Tak hanya orang Bali kok yang tolak reklamasi.” Jadilah muncul #tolakreklamasitelukbenoa dan diboyong ke ibukota. Karena tak sedikit selebritis yang ingin menyuarakannya. Tanpa dibayar.

Selasa malam pukul 6.30, saya dan seorang kawan di Jakarta, Musfarayani berhitung waktu dan menimbang opsi transportasi menuju Kemang, Jakarta Selatan, lokasi Rolling Stone Café. Kami ingin menonton semua yang ada di panggung #konsersvarabumi sejak menit pertama.

Tapi kami sadar itu tak mungkin. Dari Jakarta Pusat menuju daerah padat Jaksel di jam pulang kantor dalam setengah jam? Benar saja, kami kehilangan orasi Saras Dewi, doctor muda UI berdarah Bali yang juga penyanyi ini. Juga tak bisa dengar hiphop cerdas Jogja @killthedj dan trio folks idaman tua muda @nosstressbali. Continue reading Svara Bumi di ibukota untuk #tolakreklamasitelukbenoa

Adaptasi Multikultur Peranakan China di Bali

foto @gunkparameswara


Alkisah lebih dari 300 tahun lalu, hanya 12 orang penjaga perbatasan keturunan China harus menghadapi seribu prajurit yang ingin menyerang Kerajaan Bangli di perbatasan Buleleng. Selusin prajurit yang setia pada rajanya itu lalu menyalakan banyak lampion di penjuru desa untuk bisa mengamati musuh.

Prajurit lawan malah mengira titik-titik cahaya itu sebagai petanda banyaknya musuh yang harus dihadapi. Mereka takut. Ekspansi wilayah ini kemudian dibatalkan.

Demikian legenda kesetiaan warga etnis China versi generasi ke-4 marga Lie di Dusun Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Bangli.  Menurut Lie Giok Tian, pria 57 tahun, Ketua Perkumpulan etnis Tionghoa di Lampu ini, ikhwal nama Lampu adalah dari lampion lampion itu. Continue reading Adaptasi Multikultur Peranakan China di Bali