Jurnalis lepas sejak 2003, mengasuh 2 anak laki-laki di Bali, dan ikut mendirikan Sloka Institute untuk menyebar virus NO NEUUS WITHOUT U.
Mari berkolaborasi. Temui saya di twitter dan IG @lodegen.
Belajar dan bermain adalah hak anak. Foto: Luh De Suriyani
Menjadi anggota Komite Sekolah di sekolah dasar anak-anak saya membuka mata jika pendidikan memerlukan peran serta orang tua lebih intens. Salah satunya memberi jeda pada rutinitas sekolah yang super padat dengan kegiatan yang kontekstual.
Misalnya usulan seorang anggota Komite baru-baru ini untuk memberi usul sekolah membuat simulasi dan pendidikan evakuasi gempa bumi pada siswa. Kepala Sekolah langsung merespon dengan membuat simulasi evakuasi gempa bumi secara mandiri setelah gempa bumi 7 SR yang merubuhkan ratusan rumah di Lombok, NTB. Continue reading Mengisi Celah Peran Ortu di Sekolah→
Suatu hari di sebuah pos pengungsi Gunung Agung di Denpasar, saya melihat sosok perempuan muda ini. Panggilannya Ita, saya bertanya dengan Dokter Rai yang mengajaknya dan keluarga Rumah Berdaya bakti sosial mengajari pengungsi membuat kerajinan dari koran bekas.
Saya menghargai Indonesia Idol, di luar tekanan industri hiburannya. Menyaksikan seseorang berupaya sekeras tenaga menunjukkan bakat menyanyinya sudah menghibur. Tidak perlu diisi bedak tambahan agar dramatik. Tapi ya itu unsur materi visual yang selalu ada di televisi.
Sampai kita bertanya pada pulau tetangga sebelah kita, jawaban yang sama. Itu bukan sampah kami, sampah kiriman pulau lain. Demikian seterusnya sampai melanglang bumi.
Ternyata saya belum pernah posting soal ini. Waduh. Baiklah ini dia.
Saya rangkum saja, desa pekraman (dulu disebut desa adat) juga membahas masalah kekinian dalam pesamuhan atau pertemuan besarnya. Dua hal yang saya beri catatan adalah status perempuan dan ide perlindungan anak. Continue reading Perkawinan, Warisan, dan Anak dalam Radar Adat Bali→
Perjalanan ini sebelum akhir tahun 2016 lalu, tapi baru ditulis. Niatnya berbagi sekaligus melengkapi itenarary Thailand untuk orang tua dengan 2 anak di bawah 10 tahun.
Soal jadwal, tentu saja menghindari pikuk tahun baru. Terlebih Thailand dikunjungi lebih dari 30 juta wisman pada 2016. Setengah dari jumlah penduduknya yang 65 juta. Jadi, tiap tahun dari rata-rata dua penduduk ada 1 turis klincang klincung di Thai. Continue reading Jalan-jalan Thailand 5 Hari dengan 2 Anak→
Tengah Oktober lalu saya dan Anton di Sulawesi tapi kota yang berseberangan. Utara dan Selatan.
Untungnya hari H selisih semalam, jadi kami tak resah dalam pengurusan anak. Bisa gantian. Dia landing, saya takeoff.
Anton diundang Kementrian Kominfo menerima penghargaan Anugerah Komunikasi Indonesia (AKI) untuk Sloka Institute sebagai lembaga publik bidang pemberdayaan. Terima kasih ya tim kecil (tak pernah jadi tim besar) Sloka era dulu dan sekarang serta tim Balebengong.net. Continue reading Menerima Piala di Makassar dan Manado→
Panitia Ubud Village Jazz (UVJ) Festival menantang khalayak. Ini baru event jazz beneran. Banyak festival jazz, tapi bukan jazz.
Gitu katanya. Saya diam aja, wong ndak paham. Tapi mari kita ricek argumen pembuat UVJ yang akan dihelat 12-13 Agustus ini.
“Jazz bukan what tapi how. Bukan lagunya tapi bagaimana improvisasi seluasnya. Bukan tempelan,” kata Yuri Mahatma, salah satu pendiri UVJ dan direktur artistik ini saat temu media di Rumah Sanur. “Musisi tak dibebankan untuk menghibur, silakan mau gila,” lanjutnya. Continue reading Perlukah Saya ke Ubud Village Jazz Festival?→
“Bun, kami sudah ngobrol soal komputer. Kalau dalam satu bulan tidak produktif, komputer mending dijual.”
Si bun terdiam. Kaget. Kememengan dalam basa Bali. Ini ide yang ekstrim.
Saat liburan panjang sekolah lalu, Bani sudah dikenalkan dengan kata ini. Ia bertanya dan kami menjawab artinya. Berproduksi, membuat sesuatu, tak hanya mengonsumsi. Jurnalisme warga banget dah. Hihi… Continue reading Mengenalkan Kata Produktif untuk Anak→