Bercakap dengan Luviana, jurnalis yang dipecat Metro TV karena ingin membuat serikat pekerja. Di masa depan, kita akan teringat pada perjuangan ibu satu anak ini yang melawan keangkuhan industri media.
Ia sudah berpeluh lahir dan batin dengan mendatangi Komnas HAM, Komnas Perempuan, LBH, DPR, menghadapi tekanan pejabat dan rekan sekerja hampir satu tahun ini. Apakah Luviana akan berhasil meminta haknya diperjakan kembali? Bukan pesangon puluhan juta, tapi haknya untuk bekerja sebagai wartawan.
Tak hanya itu, sebagai jurnalis perempuan, Luviana berusaha mendorong kondisi kerja yang bebas dari stigma, terutama bagaimana perempuan harus tampil di televisi.
Berdialog juga adalah berbagi inspirasi dan semangat. Kami berdiskusi santai di kantor AJI Denpasar, Jl Akasia XV gang 26b, Kamis (4/4). Sehari sebelum kembali ke Jakarta usai empat kali nonton bareng film Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin di Bali.
Di film dokumenter ini, Luviana jadi salah satu tokoh utama. Lainnya Hadi Suwandi, korban Lapindo yang jalan kaki daruiSidoarjo ke Jakarta. Sepanjang jalan menghujat perusahaan Lapindo milik Aburizal Bakrie tapi berakhir antiklimaks menangis minta maaf di TVOne, milik Bakrie.
Demikianlah sudut pandang Ucu merekam wajah industri media yang bermuka dua. Di depan mengabarkan ketidakadilan tapi di belakang menindas karyawannya. Namun judul yang diusung Ucu adalah soal gugatan frekuensi publik yang dipakai sewenang-wenang oleh pemilik televisi untuk kepentingan publik dan kelompok.
Dalam diskusi di AJI Denpasar, Luvi sangat antusias membagi pengalaman dan pandangannya mengenai pentingnya mengorganisir serikat buruh dan menggelar aksi jalanan. “Pengusaha selalu memandang wartawan punya keahlian, tapi lemah di solidaritas pekerja. Beda dengan buruh yang dipandang sebelah mata tapi punya solidaritas kuat,” kata perempuan yang pernah bekerja di Jurnal Perempuan, Kantor Berita Radio 68H, dan LP3Yini.
Tantangan lain dan makin memburuk kondisinya menurut Luvi adalah independensi ruang redaksi. Ia mengajak, seperti tuntutannya ke Metro TV adalah tetap bekerja dan masuk ke dalam ruang redaksi. “Kita bisa ikut menentukan apakah publik terwakili di media, dan buruhnya. Apakah ruang redaksinya independen dan ada kebebasan berekspresi,” ingatnya. Televisi tidak punya sama sekali ruang suara publik. Kalau online makin mudah karena disediakan komentar.
Ruang redaksi sendiri tak steril dari kepentingan pemilik media. Fakta ini diperlihatkan film Di Balik Frekuensi. Bahkan menurut Luvi, ada semacam solidaritas hitam media yang kompak menolak.menayangkan tayangan tertentu. Misal sanksi KPI pada media.
hmmm somehow bagai buah simalakama, they against it but they need the job, industry it is …. *mudah-mudahan komenku nyambung ya mbak hahahahahaa~ *
Ini sampai diangkat dlm sebuah film “Dibalik Frekuensi” mbak, miris banget pokonyah
ya benar film penting