Pawai Budaya Bhineka Tunggal Ika

Tetabuhan Baleganjur (gamelan Bali) terdengar di tengah guyuran hujan jalanan di Kota Manado, Jumat sore. Belasan anak muda asal Bali berbaur bersama ratusan orang lain dari berbagai lintas etnis mengkampanyekan Bhinekka Tunggal Ika dan Pancasila, ideologi Bangsa Indonesia.

Kelompok Baleganjur ini seniman muda dari Sanggar Kusuma Wijaya, Taas, Manado. Mereka adalah anak-anak asal Bali yang tinggal di Manado. Baru kali ini mereka terlibat dalam pawai budaya dan ikut secara spontan tanpa persiapan khusus. Perangkat gong yang digunakan adalah milik Pura Taas, tempat peribadatan warga Hindu di Manado yang dibuat secara swadaya.

Sejumlah spanduk besar diarak sepanjang lima kilometer di pusat Kota Manado oleh ratusan peserta Simposium Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) untuk kawasan Indonesia Tengah dan Timur. Spanduk itu berbunyi Berbeda-beda tapi Tetap Satu Bangsa dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Manado.

“Saya belajar, Bali juga harus mewaspadai radikalisasi agama. Karena sikap intoleransi lah mengacaukan Indonesia yang majemuk,” ujar Dewa Suardana, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Insitut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Bali, salah satu peserta simposium.

Selama lima hari Dewa dan sejumlah temannya yang lain mengikuti berbagai diskusi soal pentingnya pruralisme serta menguatkan solidaritas kawasan Indonesia Tengah dan Timur. “Bali terlalu diagungkan sebagai pusat pariwisata. Sementara banyak kebijakan pariwisata yang malah merusak lingkungan dan kawasan peribadatan,” kata I Wayan Nampa, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Kota Denpasar.

Dalam pernyataan sikapnya ANBTI mengajukan sejumlah resolusi untuk melawan gerakan penyeragaman di Indonesia. Resolusi Lotta, demikian disebut menyatakan akan terus mempertahankan negara persatuan Pancasila yang disemangati Bhineka Tunggal Ika. Upaya penggerusan terhadap keduanya harus dihentikan.

Kedua, agresi modal yang merusak lingkungan dan budaya lokal di nusantara harus dikendalikan, misalnya mengatasnamakan pengembangan pariwisata. Selain itu ada sejumlah produk hukum yang dinilai mencabik ketentraman hidup berbagai agama dan suku serta etnis di Indonesia. Misalnya Peraturan Daerah mewajibkan penggunaan jilbab, anti maksiat, dan tumbuhnya kelompok radikal agama.

“Indonesia bukan negara agama. Kita negara yang sangat majemuk dan semua etbis harus mendapat perlakuan yang sama,” ujar Nia Sjarifudin, Koordinator Orginizing Committee ANBTI. Saat ini ANBTI terus mengawal judicial review atas UU anti pornografi dan UU tentang Administrasi Penduduk yang diskriminatif.

Komponen Rakyat Bali (KRB) yang dimotori I Gusti Ngurah Harta adalah salah satu pemohon judicial review UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi itu ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam UU Administrasi Penduduk itu disebut, pemerintah hanya melayani administrasi bagi enam pemeluk agama di Indonesia. Padahal ada banyak pemeluk keyakinan dan penganut kepercayaan lainnya di Indonesia. (LUH DE SURIYANI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *