Oleh LUH DE SURIYANI
Sejak pagi, Markus Pandelaki, 46, warga Suku Tombulu, Kecamatan Tomohon Tengah, Sulawesi Utara bersiap dengan atribut tarian Cakalele di tubuhnya. Padahal ia baru akan menari lewat tengah hari, pada Selasa (26/1). Di tubuhnya melekat sekitar 20 kilogram pakaian kebesaran seorang panglima perang.
Misalnya di kepalanya bertengger mahkota dengan hiasan kepala. Ada puluhan helai bulu burung Rangkong khas Sulawesi dan tengkorak kepala monyet. Belum lagi hiasan dari hewan-hewan lain di sekujur tubuhnya, seperti taring rusa, kepala burung hutan, dan lainnya. Penanda keberanian dan penakluk.
Ia memimpin tarian perang yang atraktif bersama belasan pria warga desa lainnya. Tak hanya Markus, belasan orang tua warga desa lainnya juga telah bersiap sejak pagi untuk pertunjukan tarian daerah khas Minahasa.
Mereka terlihat gembira membagi keriangan pada pengunjung yang menonton. “Sehari-hari saya berkebun. Sekarang beberapa kali ada permintaan menari,” ujar Markus.
Ketua Adat etnis Tombulu, Syeni Watulangkow dengan antusias menjelaskan mengenai upaya warga setempat merevitalisasi kebudayaan adat di Keluarahan Kamasi, Tomohon Tengah itu. Salah satunya dengan mengumpulkan kembali penari-pernari tua dan membuat ampi teater Rano Wolanda di tengah-tengah desa.
“Musik dan nyanyian membuat pohon cepat tumbuh dan bunga-bunga mekar,” ujar Syeni, perempuan yang juga Wakil Walikota Tomohon. Ia berencana mengaktualisasikan kearifan lokal setempat tentang pentingnya berkebun, menari, dan bergotong royong.
Di sekitar Kelurahan Kamasi, rumah-rumah warga memang asri. Taman-taman dengan tumbuhan hias memagari desa dan rumah penduduk. Di sela-sela rumah terhampar perkebunan berbagai jenis pangan. Seperti jagung, ketela, sayur, bambu, dan lainnya. Bahan pangan melimpah tanpa perlu membeli.
Sejak 2006 lalu, warga setempat mempunyai panggung terbuka atau ampi teater besar dengan latar belakang Gunung Lokon, gunung yang masih aktif di Sulawesi Utara. Di sanalah Markus Pandelaki dan kelompk tari Cakalelenya mendapat aplaus panjang, termasuk dari ratusan warga desa sekitar yang sangat apresiatif melihat warganya tampil.
“Kami suka menyanyi dan menari. Dengan panggung ini saja kitorang (kami) bersuka ria,” ujar Fita Wati, perempuan paruh baya, salah satu seniman.
Penampilan seniman desa yang bersahaja kontras dengan ambisi pengembangan pariwisata yang cenderung haus pada industri pariwisata massal. Hal ini nampak pada presentasi Esthy Reko Astuty, Direktur Sarana dan Promosi Pariwisata Departemen Budaya dan Pariwisata, dan Meyske Siwi Kepala Sub Bidang Promosi Dinas Pariwisata Sulawesi Utara.
Esthy memaparkan ambisi Indonesia untuk peningkatan jumlah kunjungan wisata sebanyak 7 juta orang wisatawan mancanegara pada 2010 dengan pendapatan USD 7 miliar. Sementara untuk wisatawan nusantara ditargetkan 230 juta kali pergerakan pada tahun ini dengan pendapatan Rp 130 triliun. Sebelumnya, hingga Oktober 2009, jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 5,16 juta orang.
Menurut statistik Depbudpar pertumbuhan kunjungan wisata Indonesia 1,3% dari 2008 sampai Oktober 2009. Masih kalah dengan Malaysia yang meningkat 7,2% di kawasan ASEAN.
Esthy lebih banyak memaparkan angka-angka dan strategi pemasaran yang industrialis. Misalnya marketing focusnya adalah thematic product seperti spa, diving, dan golf. “Kecenderungan terkini juga pariwisata budaya dan kita akan fokus dalam pengembangannya,” jelasnya.
Presentasi Dinas Pariwisata Sulut juga tak berbeda. Keragaman budaya, alam, dan penduduk lokal seolah hanya sektor pendukung untuk kejayaan industri pariwisata Indonesia.
Pejabat pariwisata itu memaparkan hal itu di tengah-tengah diskusi soal Kebhinekaan bersama sekitar 200 orang dari Indonesia bagian Timur dan Tengah, di areal ampi teater.
Nia Sjarifudin, aktivis perempuan dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) meminta pernyataan tegas dari pejabat kepariwisataan untuk merevisi peraturan perundangan yang mengancam keberagaman. “Keunikan budaya disebut sebagai asset pariwisata, tapi kenapa tidak ada respon dari Depbudpar soal Undang-undang Pornografi sebagai upaya sistematis penyeragaman?” tanya Nia.
UU Pornografi memang masih kontroversial hingga kini karena beberapa pasalnya yang berisi peraturan soal kewajaran berpakaian dan sikap dengan kaidah keyakinan tertentu. Hal inilah yang disebut strategi penyeragaman dengan dalih moral dan akhlak.
ANBTI membawa diskusi soal kepariwisataan dalam Simposium Indonesia bagian Timur dan Tengah, agar pariwisata tak hanya memperalat kebhinekaan sebagai asset industri pariwisata saja. “Mohon Depbudpar melakukan koordinasi dengan lintas departemen lain soal ancaman UU Pornografi ini,” kata Nia.
Hal yang sama banyak diungkapkan sejumlah peserta simposium dari berbagai daerah. Misalnya I Nengah Jimat, dari Bali. “Di Bali, pariwisata mengorbankan lahan dan membuat masyarakat tidak bisa bersembahyang di lahannya sendiri,” ujarnya.
Jimat meminta otoritas pariwisata memberikan keadilan pada masyarakat adat dan tak hanya menjadi objek pengumpul devisa.
Simposium ANBTI untuk kawasan Indonesia Timur dan Tengah ini dihadiri sekitar 200 peserta dari 17 Provinsi dan berlangsung hingga 29 Januari 2010.