Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Itu idiom motivasi zaman dulu. Sekarang menurut saya, kalau ada koneksi internet, pasti ada jalan!
Berikan saya koneksi internet yang bohai, saya akan mengubah dunia. Nah, ini bisa agak berlebihan tapi ada benarnya. Setidaknya itu yang saya temukan di pengalaman hidup beberapa tahun ini, setelah berani mencumbu dunia online.
Sabtu (10/4) lalu, beberapa kawan baru saja mengunjungi rumah sepasang perempuan difabel, Restiti dan Alit. Keduanya mengalami polio sejak kecil. Beberapa kawan saya ini adalah teman yang dikenal lewat jejaring social. Ada yang kenal di milis Bali Blogger Community, lewat twitter, kemudian kopi darat di acara Melali bareng Balebengong.net, sebuah portal jurnalisme warga di Bali.
Restiti dan Alit mendapat hadiah berbagai jenis boneka. Tak hanya difungsikan sebagai teman tidur. Boneka-boneka yang dibawa teman itu ada yang berbentuk Barbie. Ini khusus untuk restiti, perempuan ramah 19 tahun yang cakap membuat desain baju boneka, termasuk kebaya.
Beberapa kawan yang dipertemukan lewat dunia maya pertama kali dengan kisah Restiti-Alit dari tulisan di balebengong.net. Tulisan ini merangkum kisah di balik “ditemukannya“ Restiti oleh sejumlah relawan penjangkau difabel yang “disembunyikan” keluarga, atau tak mampu mengakses bantuan di luar tembok rumah.
Singkat cerita, Restiti kemudian mendapat sejumlah dukungan seperti pemasaran baju-baju boneka dan kebayanya. Hendra, pemilik usaha web development memberikan domain-hosting gratis. Sakti Soediro, relawan perempuan penjangkau difabel ini membuatkan desain website dan terus mendampingi dalam pemasaran produk hingga saat ini.
Usai pertemuan terakhir di rumah Restiti, tulisan baru muncul di balebengong.net. Beberapa kawan kembali menawarkan bantuan, seperti fotografi untuk memotret produk Restiti dan lainnya. Alit, adik Restiti yang berusia 11 tahun punya bakat menggambar. Hasil dokumentasi dan proses kolaborasi terus menambah dukungan untuk dua perempuan difabel berbakat ini. Misalnya tambahan bantuan kursi roda, yang juga dimobilisasi dari media online.
Ini kisah kecil di Bali. Jurnalisme warga atau citizen journalism yang dikembangkan balebengong.net memberikan hak yang sama bagi perempuan berkarya dan kemudian brdampak langsung pada lingkuangan sekitar.
Saya pun kerap menulis dan memposting artikel di blog atau jejaring sosial ketika memasak. Saya cukup meletakkan meja kecil, sekitar 3 meter dari dapur. Saat menunggu sop matang di penggorengan atau empal diungkep dalam panci, saya bisa menulis. Karena kadang menulis, butuh waktu segera untuk menumpahkannya di papan keyboard.
Di ruang dapur yang terhubung langsung dengan ruang perpustakaan, saya juga bisa melihat anak bermain jika sedang libur sekolah. Memasak sambil online biasanya dilakukan pagi, usai mengantar anak sekolah dan menunggu waktu keluar sekolah. Menyenangkan dan menyeimbangkan.
Bahkan, saya sering menemukan semacam buddies tiba-tiba dalam hidup ketika memposting tulisan dan direspon ramai oleh perempuan lain. Salah satu contohnya, ketika menulis pengalaman pertama menggunakan alat kontrasepsi Intra Uterine Device (IUD), akrab disebut KB pasang. Mencari alat kontrasepsi adalah hal krusial bagi perempuan.
Ada banyak pilihan dengan berbagai efek samping. Brosur atau iklan tak sepenuhnya bisa meyakini perempuan. Yang paling penting adalah mendengarkan pengalaman perempuan lain, dan ini bisa dilakukan di internet. Artikel ini masih seru didiskusikan oleh pengunjung blog saya dan menjadi topik paling populer.
Tentu tak pernah kita lupa kisah Prita Mulyasari, perempuan yang dipidanakan oleh sebuah rumah sakit di Jakarta beberapa tahun lalu. Ini sejarah penting di Indonesia mengenai teknologi informasi dan perempuan.
Seorang perempuan memposting keluhannya soal pelayanan rumah sakit, lalu direspon dan disebarkan ke orang lain. Dunia maya adalah viral. Hanya perlu sekali klik, dan jika pembaca tertarik, postingan sudah bisa dibaca jutaan orang. Sayang, komplain berbuah upaya pemenjaraan dari pihak yang merasa dicemarkan.
Perjuangan Prita lolos dari sel penjara digaungkan dengan gerakan Koin untuk Prita. Untuk membayar denda pidana pengadilan. Gerakan koin terus bergema, untuk isu-isu yang berbeda. Misalnya Koin untuk Bilqis, dan terakhir Koin Sastra untuk penyelamatan dokumentasi sastra HB Jassin di Jakarta.
Kisah Prita pada bisa dituangkan dalam konteks analisis gender. Kerangka analisis gender “Harvard” terdiri dari empat komponen, yaitu partisipasi laki-laki dan perempuan, akses masing –masing pada sumber daya alam dan sumber daya lainnya, pengaruh masing-masing dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat rumah tangga dan komunitas, serta manfaat yang mereka peroleh dari kegiatan itu.
Prita berpartisipasi dalam mengemukakan pendapat. Ini yang kadang lalai diperhatikan dalam sejumlah pertemuan umum, rapat pemerintah, termasuk rapat adat. Internet memberikan hak yang sama bagi siapa pun untuk terlibat dalam pembentukan opini.
Kedua, akses perempuan pada sumber daya di dunia nyata tak terjadi di dunia maya. Prita menggunakan kemampuannya mengakses email untuk berbagi. Ini sangat mudah, walau masih banyak perempuan yang menganggap sudah memanfaatkan TI hanya dengan membuat akun di facebook. Sementara alamat email tak terurus. Membuat akun email hanya untuk mendaftarkan diri di facebook, kemudian tak pernah membuka isi email, bahkan lupa password-nya.
Prita juga tak perlu menitipkan “suaranya” lewat suami atau kepala desa untuk bisa cepat mendapat respon atas keprihatinannya. Ia menulis email atas nama pribadinya sendiri dan bertanggung jawab secara mandiri.
Terakhir, soal manfaat dari kegiatan. Aksi Prita membuat email komplain ini berpengaruh luas pada cara pandang masyarakat dan institusi perusahaan dalam mekanisme resolusi konflik, dan tentu saja kehendak berbicara untuk perempuan. Kegiatan online lebih bermakna ketika berdampak di dunia nyata.
Siapa saja kini bisa mulai melakukan sesuatu, mulai dari memanfaatkan email, blog, atau jejaring sosialmu. Tinggal menulis, membaginya, kemudian mewujudkan.
“Berikan saya koneksi internet yang bohai, saya akan mengubah dunia”,: kalau Bung Karno masih idup pasti Komplain toe, dah di ganti kata2nya, he,,
boleh juga tuh dikonfrontasi ma bung karno, biar pernah bercakap-cakap ma beliau 🙂
saya sangat suka sekali tulisan ini, terutama buat saya yang sangat tergantung pada koneksi internet. saya selalu bingung kalau tidak ada koneksi internet karena sumber penghidupan dan pekerjaan saya semuanya selalu bergantung pada koneksi.
zaman sudah berubah, kita juga harus cepat berubah. terimakasih. tulisannya menginspirasi 🙂
kapan ya koneksi net kita bisa buka youtube dengan sempurna?
Blog
Dan infonya bagus ,salut bgt,trus berkarya,lam kenal,kunjung balik ya!
blognya mana, bli yan?