Hamil: Boleh Resah Asal Gak Bikin Makin Susah

Kehamilan kali kedua ini bikin loyo.

Jelang Bani 5 tahun, kehamilan ini memang direncanakan. Pertama, buka alat kontrasepsi IUD dulu dong. Proses pencabutan IUD di tempat masang dulu, klinik PKBI Gatsu tengah cukup singkat sekitar 10 menit.

Tanpa alat kontrasepsi, tak perlu waktu lama sampai aku gak menstruasi lagi. Sperma si ayah lincah dan sel telur bunda juga pintar menyeleksi satu yang terbaik. Jadilah pembuahan itu. Tidak ada yg lebih superior antara sperma dan sel telur. Jutaan sperma boleh menyerbu dengan kecepatan tinggi tapi hanya satu yang bisa diterima sel telur. Kalau tidak ada yang berkenan di hati sel telur, semua sperma akan layu. Lalu, mati.

Sebulanan setelah tidak mens lagi, baru beli test kit. Setelah dua bulanan baru periksa dokter unt pertama kali. Itu pun setelah mual muntah tak tertahan.

Episode muntah mual ini terus meningkat sampai 7 bulan. Luama banget. Tak seperti hamil pertama. Bahkan saat ini jelang 9 bulan juga pagi-pagi masih ada ritual mengeluarkan gas alias muntahin air liur karena kembung. Kalau tidak dipaksa keluar, dipastikan makan pagi akan termuntahkan tanpa tersisa sebulir nasi pun.

Hal lain yang menguras pikiran adalah upaya mencari dokter yang full support pada gentle birth dan Inisiasi Menyusui Dini alias IMD. Ketika lahiran Bani di sebuah rumah sakit mewah khusus ibu dan anak dekat rumah, seingatku dokter dan perawat tidak pernah bertanya ato memberitahu soal IMD ini. Bahkan pas mo pulang, perawat memberi tahu cara buat susu formula dengan bekal sisa sufor yg diberikan ke bani tanpa minta izin.

Setelah tanya sana sini, direkomenlah SPog dr Hariyasa yang praktik di antaranya di RS Kasih Medika dan Harapan Bunda. Ke sinilah kami sejak usia kehamilan 5 bulan.

Sebagian Spog biasanya ramai pasien seperti halnya dokterku dulu pas anak pertama. Demikian juga dr Hariyasa ini. Udah boking sehari sebelumnya dan ga pernah dapat no urut 5 pertama.

Pertama kali konseling, dia tanya, kok cesar yang pertama? Dan dia meyakinkan aku bisa normal walau pernah cesar dan pasti menjafi pilihan pertama persalinan.

Soal persalinan normal, ini memang mimpi terbesarku tahun ini. Karena anak kedua direncanakan sebagai anak terakhir dan aku ingin merasakan bagaimana kontraksi.

Sejak bulan awal aku terus meyakinkan diri pasti bisa normal, dengan pilihan water birth. Sampai suatu ketika, saat konseling jelang bulan ke-9 dr Hariyasa menyampaikan sesuatu yang buat aku menitikkan air mata. Dia sih sambil bercanda ngomong gini, “Nanti pas bukaan delapan, seperti orang naik gunung dan dekat puncaknya. Rasanya sakit tapi jangan minta balik turun.”

Aduh, kok ngena banget. Seingatku pernah turun mundur dua kali pas naik gunung padahal sudah hampir sampai puncak. “Ayah, plis ingatkan aku omongan dr Hariyasa soal naik gunung kalau aku mau menyerah pas persalinan nanti ya,” aku mengingatkan ayah.

Resah

Kehamilan kedua ini membuatku lebih sensitif. Pertama, karena ada beberapa kejadian buruk pada saudara saat hamil. Sepupuku dua kali mengalami kejadian misterius ketika kehamilan sudah 8 bulan. Dua kali hamil, dan dua kali anaknya dalam kandungan meninggal. Sampai sekarang Ia tak bisa menjelaskan penyebab pastinya.

Kedua, kasus-kasus umum seputar kematian bayi atau ibu saat melahirkan juga cukup tinggi dan butuh perhatian. Angka kematian bayi dan ibu di atas angka nasional di Bali ada di Kabupaten Karangasem, Bangli, dan Jembrana. Karangasem adalah kampong halamanku L

Namun, laporan pencapaian MIllenium Development Goals (MDGs) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali menyebutkan penurunan angka kematian bayi dan ibu melahirkan diperkirakan sesuai target pada 2015. Catatan terakhir angka kematian bayi di Bali adalah 34 per 1000 angka kelahiran hidup (AKH). Target MDGs adalah 24 per 1000 kelahiran hidup.

Sejumlah kabupaten yang angka kematian bayi lahirnya masih buruk, di atas angka nasional adalah Kabupaten Karangasem dan Jembrana yakni 36/1000 AKH. Menurut laporan MDGs Bappeda ini, penyebab kematian pada bayi paling banyak karena berat badan lahir rendah sebanyak 188 kasus atau 41%.  Disusul asfiksia dan pnemunia.

Sementara angka kematian ibu di Bali yang ada hanya tahun 2007, yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup. Target MGDs Bali adalah 100/100ribu AKH. Prosentase ibu bersalin yang ditolong tenaga kesehatan terlatih sekitar 96% namun ada disparitas di daerah.

Kabupaten yang angka capaiannya di bawah itu untuk akses pemeriksaan kesehatan oleh tenaga terlatih adalah Karangasem, Bangli, Jembrana, dan Klungkung. Penyebab kematian ibu melahirkan di antaranya penyakit jantung, pernfasan, dan suspek HIV/AIDS.

Nah soal HIV/AIDS ini juga menarik perhatianku. Beberapa kali ingin tes HIV untuk memastikan kondisi dan terlebih lagi agar tak menularkan pada bayi. Beberapa konselor yang menanyakan perilaku risiko tinggi terpapar HIV dan melihat riwayatku hingga kini menyatakan aku tidak ada risiko.

Aku pernah ketemu dua perempuan dengan status HIV di Bali. Seorang, perempuan yang sudah tahu statusnya dan menyiapkan dengan serius kehamilan dan proses persalinan untuk mencegah penularan ke bayinya. Ia berhasil. Ini sekaligus menjawab mitos jika ibu positif HIV tidak boleh punya anak.

Perempuan kedua tidak tahu positif HIV dan akhirnya baru tahu setelah bayinya dinyatakan positif. Apakah kita bisa membayangkan ada dalam kondisi seperti ini?

Berbagi

Mengurangi gelisah, ketika hamil berusia di atas lima bulan, aku mulai aktif mencari cara untuk belajar lebih banyak soal kesehatan selama kehamilan dan persalinan nanti. Selain SMS-an dengan teman, yang paling rajin adalah follow beberapa akun soal ibu dan anak di twitter.

Mujarab. Walau ngtwit dengan seseorang yang tidak kita kenal, lalu mendapat masukan juga dari orang yang kita ketahui nama akunnya saja, berhasil mengurangi perasaan susah. Apa yang aku ketahui juga lalu ditanyakan oleh calon ibu lainnya. Salah satu postingan blogku yang masih cukup ramai sampai sekarang tentang pengalaman pertama memakai kontrasepsi.

Demikian viral informasi ini bergulir. Ternyata semua perempuan bisa menjadi “dokter” bagi perempuan lainnya asalkan mau berbagi.

Salah satunya melalui  web ini.

 

 

 

 

 

3 thoughts on “Hamil: Boleh Resah Asal Gak Bikin Makin Susah”

  1. mba…aku jd pgn nitikkan airmata jg nih..inget2 saat aku bercita2 lahiran normal tp aku akhiny menyerah saat naik gunung itu… :'( sampai skr klo ayah zahra bcandain moment itu, aku malah sedih.. smoga mba sukses yahh… aku jg pgn nanti anak kedua direncanakan lbh baik lg. amin

    1. yg penting sudah berusaha. ini selalu jadi kalimat penghibur. tapi knapa org2 di desa hampir semua bisa normal ya? ini kadang jd pikiran. ya, smoga kita berdua bisa mngalami.

  2. hmmm, sampai sekarang kok aku masih belum tega bayangin bunda meronta-ronta karena melahirkan dg normal. usai membawa bayi dalam perut selama 9 bulan lalu harus menghadapi perjuangan berat itu lagi. sesederhana itu sih kekhawatiranku soal melahirkan secara normal.

    tapi, mari kita berusaha. kalau memang bisa normal tentu akan lebih baik lagi.

    aku percaya sih kelahiran secara normal ataupun cesar tak akan berpengaruh pada kuat tidaknya ikatan psikologis antara anak dan orang tuanya. bani memberikan contoh. meski cesar, dia toh tetap begitu dekat dg kita. malah anak orang lain yg normal belum tentu sedekat itu.

    but, apa pun itu, kamu tahu. aku selalu di sana bersamamu.. MMMMUAH!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *