Gairah Perempuan dan Perjalanan Lombok

Awalnya perjalanan ke Lombok ini akan dilakukan teman saya Ni Komang Erviani, sesama jurnalis lepas di Bali. Saya memutuskan mundur dari program pembuatan Majalah ACCESS karena ingin konsentrasi mengurus operasional Sloka Institute.

Penggantian personil mendadak tak diijinkan. Harus dibicarakan lagi usai edisi pertama nanti. Berangkatlah saya Senin malam usai acara pitulasan Bali Blogger Community di Panti Jompo Denpasar. Rencananya balik ke Denpasar lagi lima hari kemudian, sehari sebelum puasa.

Ternyata terbang ke Lombok cuma 20 menit. Begitu landing, badan pesawat terhempas keras. Banyak penumpang lain yang kaget. Akibat landasan yang pendek di Bandara Selaparang ini.

Hotel saya, sesuai info di websitenya hanya 10 menit dari bandara. Dan, untungnya info cukup akurat. Tapi walau kurang dari 10 menit, bayar taxi-nya lumayan, hampir Rp 30 ribu.

Di kamar, meletakkan tas sebentar lalu bergegas ke luar untuk membeli alat perekam untuk wawancara mendadak besok pagi sekali di Kantor Bappeda setempat. Saya kelupaan bawa tape perekam. Ini pencarian yang sulit, dan dapatnya pun yang kualitasnya sangat rendah.

Berkali-kali dicoba, suara yang masuk malah lebih besar suara mobil-mobil di jalan. Tidak peka. “Ini ada radionya lo,” begitu promosi si penjual berkali-kali meyakinkan agar jualannya ndak jatuh-jatuh banget. Halah, wong saya butuh alat perekam suara bukan radio. Sudahlah, daripada capek muter2 sementara udah jam 10 malem, diambil saja walau dengan keyakinan yang super tipis.

Malam itu saya gugup untuk wawancara besoknya. Maklum, ini wawancara yang menurut saya pas-nya di akhir agenda liputan Lombok, setelah saya menguasai masalah. Ah, tapi di sisi lain senang juga karena salah satu agenda penting akan selesai.

Saya menyetel alarm hape. Lalu memaksa mata terpejam, dengan kondisi tidak terlalu nyaman karena kamar saya agak terasa aneh. Mungkin karena layout dan penataan kamar mirip kos-kosan. Hahaha…Padahal ini kamar terbaik yang ada, kurang artistik saja. Fasilitasnya sih lengkap, dengan AC dan kulkas kecil (dua hal yg tidak saya butuhkan).

Sarapan di hotel, roti bakar. Saya sih lebih senang dikasi nasi goreng atau sarapan sederhana lain. Dan, menu ini hingga empat pagi berikutnya selalu sama dengan selai yang sama. Tiada alternatif lain. I think bulayak (menu lontong khas Lombok) much better lah…

bulayak-blog

Jam 7 pagi saya bersiap cari ojek. Eh, enaknya Mbak Dian dari ACCESS NTB bisa jemput untuk bareng ke tempat Pak Bappeda-nya. Lokasi wawancara berubah di rumahnya. Ah, ternyata Pak Bappeda lumayan ramah, demikian juga istrinya yang menyuguhkan donat buatannya. Wawancara yang simple dan general. Yang penting udah dapet semangatnya, cukup lah. Lagian, bapak Bappeda lagi dalam tahap pemulihan dari sakit, ya, ndak bisa lama-lama juga.

Balik ke kantor ACCESS. Ketemu Mba Nanik dan Mbak Fuji. Koordinasi sebentar untuk agenda liputan dan jadwal training media.

Mbak Nanik dengan semangat juga memberikan alternatif rencana liputan, dengan berpatokan dengan TOR sebelumnya. Nice! Beban dan kegugupan saya berkurang. Maklum ini edisi pertama dengan situasi lapangan yang baru juga.

Untungnya saya pernah mengalami hal yang mirip ketika mulai membangun tim Majalah Kulkul, untuk isu HIV dan narkoba di Komisi Penanggulangan AIDS Bali.

Siangnya saya ditemani Mba Nanik ke SANTAI, sebuah NGO dengan isu-isu advokasi isu anak-anak, HIV, dan pemberdayaan kelompok marginal. Teman-teman diskusi yang menyenangkan.

Di kepala saya sudah penuh dengan ide-ide tulisan, apalagi topik garapan juga sangat berlimpah dan beragam. I love it.

Sore hingga petang masih di kantor ACCESS NTB. Dapat bonus makan malam yang enak masakan Mba Dian, bos ACCESS NTB yang masih lajang. Neng geulis dari Sunda. Menunya telor bumbu, perkedel jagung yang crunchy (swear, saya ingin bisa masak perkedel jagung kaya gini), dan upps, dapet bonus lagi. Satu ekor kecil bandeng presto dari Sumbawa yang garing. Saya kan maniak bandeng presto. Alhamdullilah…

Hari ke-2 adalah Berugak Desa di Lombok Tengah, pos Konsorsium LSM di Lombok Tengah, Kepala BPMD Loteng, dan Ibu Sri Kambing.

Kebetulan lagi, ada kunjungan Rochelle White dari AUSaid ke Berugak Desa. Saya dipersilakan ikut juga.

Berugak Desa adalah komunitas warga dan perangkat desa Kopang Rembiga yang sukses mengimplementasikan nilai lokal dalam manajemen perumusan kebijakan pembangunan desa. Berugak adalah isitilah untuk semacam bale pertemuan di Lombok. Macam balebengong di Bali.

Saya penasaran, apakah di Bali ada sejenis Berugak Desa ini. Yang membuat kaget selama di Lombok hingga hari ke-2 adalah betapa besar inisatif warga terlibat dalam Musrenbang desa, dan juga berkolaborasi dengan pemerintahan daerahnya. Memang, salah satunya karena advokasi bidang ini tinggi sekali dari lembaga donor.

berugakdesa-blogKok rasanya di Bali tidak ada yang menggarap hal ini ya.. Saya akan cari tau deh nanti.

Di akhir perjalanan hari itu saya bertemu perempuan lain yang hampir semua omongannya itu layak kutip. Aduh, kalau ketemu narasumber seperti ini senangnya setengah mati.

Namanya Sri, terkenal dengan sebutan Sri kambing. Ibu ini orator ulung, coba dia terpilih jadi anggota DPRD. Pasti vokal banget.

Untuk menuju ke dusunnya, kita harus melewati jalan kabupaten yang rusak parah. Akan ada bandara internasional baru Lombok dekat dusun Sri nanti. Sebuah iringan bus dan mobil polisi berpapasan dengan taxi saya dengan kecepatan tinggi. Kami dipaksa menyingkir, padahal jalan lagi rusak berat.

Besoknya, saya baca di koran lokal. Itu rombongan investor Timur Tengah yang akan menggarap bandara internasional dan investasi lain di bidang pariwisata NTB. Topik yang selalu hampir ada di media lokal. Bandara baru ini sudah membuat waswas banyak orang yang kerap terbang. “Jauh sejali dari Mataram, sekitar 1,5 jam kalo jalan lancar,” ujar seorang teman. Kalau PP udah 3 jam perjalanan, kalau lancar.

Karena jalan kabupaten menuju bandara ini saya lihat kecil dan kalau ada rombongan orang menikah di jalan, berabe deh. Soalnya usai dari ibu Sri saya papasan dengan satu rombongan penganten khas Sasak, yang katanya hampir rutin tiap Minggu ada. Macetnya lumayan. Hehehe…

Kalau sedang tak terburu-buru ini sih bonus pemandangan dan wisata budaya yang uasik. Full musik, gendang beleq di sudut penganten akan bersua dengan musik dari bas, seperti musik anak band dari sudut pengiring keluarga. Bajunya persis baju adat Bali tapi beragama mayoritas Islam. Hebat..

Balik ke bu Sri. Ini ada cerita tersendiri di posting berikutnya. Tak muat disini, karena menarik banget. Ibu kambing hebring.

Hari 3, agenda ke Kekeri di Community Center (CC) Mandiri bertemu dengan ibu-ibu yang luar biasa juga. Mereka mendirikan pusat pengaduan pelayanan publik atas dukungan kelompok Solidaritas Perempuan (SP) setempat. Seperti pelayanan Puskesmas, rumah sakit, sampai kekerasan dalam rumah tangga. Wiuh, semangat mereka.

Saya juga ragu, adakah hal semacam ini di Bali. Di diskusi terakhir saya mengajak mereka diskusi kenapa gizi buruk dan buta hurup itu masih menjadi masalah menahun di Lombok. “Ini kan menghambat program tingkat lanjut untuk perempuan misalnya teknologi dan perluasan peluang ekonomi, seperti yang ibu alami,” tanya saya.

Mereka berpandangan sesaat satu sama lain. “Saya lihat ada masalah di pendataan, yang mungkin saja masih terus pakai data lama,” ujar Yuni, teman dari SP. Ibu lainnya mengangguk.

Sore harinya saya mendapatkan lagi energi dari warga Duduk Bawah, Desa Batulayar dan Jumilah di dekat kawasan wisata Senggigi. Ju, teman dari SANTAI mengantar saya ke gugusan bukit, lokasi dusun ini yang masih terisolasi dari listrik.

Ironisnya, sekitar 200 meter saja dari rumah-rumah penduduk miskin ini adalah deretan villa-villa super megah dengan listrik melimpah. Vila ini mengkapling tanah dengan pohon-pohon kelapa yang tertata rapi.

Dusun yang indah sekali. Namun sungai berbatu besar-besar itu kering kerontang. Sebuah pipa air tersambung liar seperti jaring laba-laba ke berbagai arah. Satu-satunya sumber kehidupan yang menghibur warga sekitar.

Karena sebelum ada pipa-pipa air itu, mereka harus menghabiskan setengah hari hanya untuk dua ember air. Naik gunung turun gunung. Yang membuat anak-anak putus sekolah dan orang dewasa banyak buta huruf.

Sejak sekitar tiga tahun lalu, Jumilah, seorang mantan pembantu rumah tangga membuat sekolah alternatif di dusun miskin itu. Saya berkesempatan melihat pembelajaran guyub itu. Saya berjanji akan memobilisasi dukungan akses skill tambahan untuk anak-anak Sekolah Jumilah melalui jaringan teman blogger di Lombok. “Saya senang sekali kalau ada yang ngajarin anak-anak musik atau komputer,” kata Jumilah. Ada yang bisa bantu?

sekolahjumilahBeberapa jam sebelum balik ke Denpasar, ada sharing media advokasi dengan belasan teman-teman mitra ACCESS. Ada teman yang menunjukkan frustasinya pada media karena jarang memuat berita-berita dari lapangan.

Tapi ini juga harus ditelusuri, apakah teman2 LSM sudah membuka pintu bagi jurnalis yang untuk mendalami isu yang menjadi dampingan di lapangan. Lalu, setelah membuka ruang komunikasi, apakah ada diskusi-diskusi pendalaman topik atau fieldtrip?

Ruang-ruang informasi memang harus direbut, terutama untuk isu pemberdayaan masyarakat. Jadilah informasi itu sendiri atau sebarluaskan dengan cara kita sendiri. Ada banyak jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *