Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar bersama pejabat humas dari sejumlah lembaga pemerintah, Minggu (23/8) membuat meluncurkan komitmen bersama untuk menyetop budaya amplop pada berbagai kegiatan kehumasan. Hal tersebut untuk menekan praktik-praktik penyalahgunaan profesi kewartawanan yang selama ini marak terjadi.
Komitmen tersebut diwujudkan dengan penandatanganan spanduk bertuliskan “Stop Budaya Amplop! Jurnalis Hanya Butuh Informasi”. Penandatanganan dilakukan usai Sarasehan Anti Penyalahgunaan Profesi Jurnalis yang diselenggarakan di Sekretariat AJI Denpasar. Sarasehan dilaksanakan serangkaian Hari Ulang Tahun ke-15 AJI.
Beberapa pejabat humas yang ikut menandatangani komitmen bersama tersebut antara lain Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Bali Putu Suardhika, Kepala Bidang Humas Polda Bali Gde Sugianya, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya, Kabag Humas Pemerintah Kota Denpasar Erwin Suryadharma, Humas PT.Telkom Ardana, Humas Bank Indonesia Cabang Denpasar Wisnu, dan Humas Pengadilan Negeri Denpasar Posma Nainggolan. Ikut serta menandatangani Ketua Perwatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi Rahman Sabon Nama.
“Setelah reformasi, ketika keran kebebasan pers dibuka, terjadi ledakan jumlah media massa dan wartawan di seluruh Indonesia. Ini menyebabkan ada banyak ‘penumpang gelap’ yang kemudian menyalahgunakan profesi wartawan. Komitmen stop budaya amplop kami harapkan dapat menekan penyalahgunaan profesi yang merusak citra wartawan,” tegas Ketua AJI Denpasar Rofiqi Hasan.
Ditegaskan Rofiqi, budaya amplop tidak hanya terkait dengan jurnalis nakal yang meminta amplop dalam bentuk apapun, tetapi juga terkait kebiasaan narasumber dan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta memberikan sejumlah uang kepada jurnalis. “Ini budaya yang harus diberantas,” ujar koresponden Majalah Tempo itu.
Sebagai tindak lanjut komitmen stop budaya amplop itu, AJI Denpasar akan mengirimkan surat permohonan kepada sejumlah instansi pemerintah dan swasta agar tidak lagi menganggarkan dana bagi wartawan. “Karena pada dasarnya wartawan hanya butuh informasi,” tambahnya.
AJI Denpasar juga membuka ruang pengaduan bagi masyarakat ataupun pejabat pemerintah yang mengalami pemerasan oleh wartawan melalui telp dan sms ke 08123830564 atau email ke ajidenpasar@yahoo.com.
Dalam kesempatan yang sama AJI Denpasar juga meluncurkan stiker bertuliskan “Stop Budaya Amplop!, Jurnalis Hanya butuh Informasi”. Dalam stiker juga dicantumkan nomor telp pengaduan.
Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya menegaskan komitmen stop budaya amplop harus muncul dari seluruh stakeholder baik narasumber, wartawan, media massa, dan pemilik media. “Kalau tidak satu komitmen semuanya, sulit. Karena ada banyak kepentingan,” tegas pria yang kembali terpilh sebagai anggota DRD bali periode lima tahun ke depan.
Arjaya juga menegaskan pentingnya menerapkan prinsip transparan, demokratis, dan akuntabel oleh semua lembaga pemerintah maupun swasta. “Kalau ketiga prinsip itu tidak diterapkan, sulit,” tambahnya.
Kabid Humas Polda Bali Gde Sugianyar mengakui ada beberapa jurnalis yang melakukan penyalahgunaan profesi. “Ada banyak strategi menghadapi jurnalis nakal. Salah satunya dengan tidak memberi ruang khusus bagi mereka yang mencurigakan untuk wawancara secara ekslusif karena saat itulah mereka akan melakukan aksinya,” jelas Sugianyar.
Kepala Biro Humas Pemprov Bali Putu Suardhika menambahkan komitmen menyetop buaya amplop sangat positif untuk meningkatkan profesionalisme jurnalis. Namun di pihak lain, harus ada upaya meningkatkan kesejahteraan jurnalis. “Kami sangat mendukung komitmen ini,” tandasnya.
Arjaya mengatakan di DPRD Bali tidak ada anggaran khusus untuk pemberian uang pada wartawan. “Tapi realitanya ada kebijakan pemberian sesuatu dari pemerintah untuk kepentingan tertentu,” katanya tanpa menjelaskan secara detail.
Kepala Humas Gubernur Bali Putu Suardhika mengatakan tidak pernah diminta uang langsung oleh wartawan untuk kepentingan pemberitaan.
Ia menyebut pihaknya ada pokja media dengan memberikan honor khusus untuk pembuatan tabloid khusus di kantornya. Selain itu ada budget khusus untuk studi banding ke luar Bali bagi wartawan yang ikut kunjungan staf pemerintah.
Ada juga berita yang mengeluarkan uang karena advetorial. “Karena memang media menawarkan. Ini take and give,” ujar Suardhika.
“Bagaimana AJI bisa mengantisipasi wartawan amplop? Apakah ada tindakan bagi wartawan yang melakukan?” tanya Suardhika.
Gde Sugianyar, Kepala Humas Polda Bali mengatakan selama 22 tahun berdinas pernah beberapa kali harus berhadapan dengan wartawan yang berniat memeras atau menghendaki pemberian uang.
“Ada yang beralasan istrinya sakit dan minta uang. dan lainnya. Mereka sudah berkumpul pada hari tertentu di depan kantornya untuk minta uang,” ingatnya tentang pengalamannya bertugas di Jakarta pada 2000. Hampir semua wartawan yang meminta uang itu, menurut Sugianyar tidak memiliki media yang jelas.
Ia mengaku tidak melayani wartawan pemeras walau beberapa kali merasa tertekan. “Saya memastikan memberi pelayanan yang prima pada institusi saya. Buat institusi kita tak ramah bagi wartawan amplop dengan menunjukkan kinerja kita,” ujarnya.
“Saya mendobrak manajemen Polda di Bali karena saya memberikan laporan 24 jam pada media. Mungkin karena itu saya tidak bisa mengerem berita-berita negatif di Bali,” tambahnya.
Petugas Bidang Layanan Media Bank Indonesia Tria Cahya Puspita juga mengatakan pernah mengalami beberapa kali tindakan pemerasan. Misalnya didatangi seorang wartawan yang meminta uang dengan menyodorkan proposal.
“Saya didatangi dua orang berbadan besar mengaku wartawan yang minta uang saat itu juga dengan imbalan iklan di medianya. Saya terintimidasi,” katanya.
Ia juga sempat diancam akan dilaporkan ke polisi karena tidak memberikan imbalan.
Rofiqi Hasan, Ketua AJI Denpasar menjelaskan akan membuat program anti amplop yang terintegrasi dan komprehensif. “Kami juga kampanye peningkatan kesejahteraan wartawan. Upah minimal wartawan di Bali sesuai survei kami adalah Rp 3,4 juta rupiah,”
Kampanye anti amplop ini juga dibarengi dengan pembukaan pos pengaduan bagi warga atau institusi yang mengalami pemerasan dari wartawan. Laporan pengaduan bisa langsung ditujukan ke Rofiqi Hasan, Ketua AJI Denpasar ke email ajidenpasar@yahoo.com.
“Setelah verifikasi, wartawan yang melakukan pemerasan bisa dipidanakan,” ujar Rofiqi.
Semua media, kata Rofiqi melarang pemberian imbalan pada wartawan ketika meliput. Ia minta semua institusi menghentikapan pemberian uang dalam bentuk apapun bagi wartawan karena menyalahi kode etik profesi jurnalis.
Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) disebutkan watawan dilarang menerima sogokan. Yang dimaksud sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang, dan fasilitas lainnya, yang secara langsung atau tidak dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.