Lalu, Bagaimana Nasib Ayu?

Ni Putu Ayu, sebut saja demikian, bayi perempuan 18 bulan itu bersama ibunya telah dianggap meninggal oleh keluarga. Dua perempuan dengan HIV ini oleh balian atau “orang pintar” disebut tidak bisa sembuh dan memang dikorbankan untuk Pura Dalem di desanya di Karangasem.

“Biarkan saya mati, tapi jangan anak saya satu-satunya ini,” rintih Wati sebut saja demikian, ibu Ayu, dalam Bahasa Bali, Selasa (16/9).

Ayu kini 1,5 tahun dan tergolek lemah di dipan kecil bersprei putih ruang anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar ketika ditemui. Ia masih tak bisa duduk sendiri, jadi ibunya nyaris sepanjang hari menemani. Ayu sudah dua bulan di ruangan kecil khusus pasien kelas III, kelas termurah karena ibunya mengandalkan surat miskin.

Ihwal “kutukan” tak bertanggung jawab ini didapat Wati dan Ayu karena suaminya mendadak sakit kemudian meninggal. Disusul sakitnya Ayu, yang saat itu berusia 10 bulan.

Di mulut bayi kecil itu tumbuh jamur (candida), batuk-batuk, dan sesak nafas. Rumah sakit daerah Karangasem kemudian merujuk ke RS Sanglah karena tak mampu merawat.

“Anak ini tuberkulosis dan terus mengalami penurunan daya tubuh sehingga sangat lemah,” ujar dokter Ni Ketut Dewi Putri, dokternya di RS Sanglah. Di papan penunjuk identitas pasien, ditulis immunodefisiensi sekunder. Ayu sudah dalam kondisi AIDS.

Sementara Wati hingga kini belum pernah memeriksa CD4, karena baru tes HIV saja. “Saya tidak peduli, sekarang ngurus anak saja dulu. Saya hanya ingin memastikan ada yang mengasuh kalau saya meninggal,” seru Wati.

Padahal, kondisi Ayu lebih kritis. Bocah ini tak bisa minum susu dari botol. Berbulan-bulan air susu dialiri melalui sonde, pipa kecil yang menghubungkan wadah susu dan hidungnya. Berat badannya kurang dari tujuh kilogram.

Wati memiliki harapan besar untuk Ayu. Ia kini mengaku lebih tegar dan lupa telah dibuang keluarganya. “Saya juga tak bisa merawat Ayu di rumah neneknya di Karangasem. Rumah saja tidak punya, mandi pakai air hujan,” katanya.

Dokter di RS Sanglah telah memperbolehkan Ayu rawat jalan. Situasi rumah sakit tak terlalu baik bagi Ayu untuk memulihkan berat badan demikian juga secara psikologis.
Wati ingin memulai merajut masa depan bersama anaknya. “Saya pernah bekerja di garmen. Namun saya harus bekerja di rumah karena tak mungkin meninggalkan anak,” ujarnya sambil terbatuk-batuk. Kondisinya bisa jadi makin memburuk kalau tak segera mulai terapi antiretroviral.

Prof dr. Dewa Nyoman Wirawan, Direktur Yayasan Kerti Praja (YKP) dan Istina Dewi dari Yayasan Bali+ berdiskusi untuk menyokong semangat Wati. Bali+, lembaga pendampingan Odha di Bali akan menyiapkan sebuah kamar untuk Wati dan Ayu.

Sementara YKP mencarikan peluang pekerjaan. “Terlalu banyak tantangan penanggulangan AIDS di Bali. Persoalan non medis dan masa depan Odha, selalu menjadi masalah yang sulit diadvokasi,” ujar Wirawan.

Koordinator Pokja Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali ini menyebut sedikitnya ada 150 anak yatim atau piatu terdampak HIV/AIDS di Bali. “Kami tidak punya data akurat, jumlah anak yang tercatat baru 70 orang di seluruh Bali,” ujarnya.

Menurut data Dinas Kesehatan Bali, hingga Mei ini kasus HIV dan AIDS sebanyak 2829 orang. Sebanyak 54 anak dengan HIV/AIDS berusia di bawah 14 tahun. Sebagian besar, yakni 50 orang anak tercatat terinfeksi sejak dilahirkan (perintal).

Wirawan mengatakan secara sosial ekonomi, sebagian besar dari 70 anak yatim atau piatu itu miskin dan tersebar di pelosok desa. Beberapa program bantuan pangan diberikan, tapi parsial.

“Bali membutuhkan rumah singgah,” ujar Wirawan. Menurutnya wajah AIDS harus diperlihatkan apa adanya, tanpa prasangka agar warga dan pemerintah melihat banyak yang tak berdosa jadi korban.

Ketika rumah singgah penuh dengan anak-anak korban HIV, barangkali baru warga tersentak dan tak lagi memalingkan wajah.

0 thoughts on “Lalu, Bagaimana Nasib Ayu?”

  1. Saya mengusulkan diadakan tes anti-HIV di tempat-tempat prostitusi (atau yang dicurigai sebagai tempat prostitusi) secara rutin setiap 3 bulan sekali terhadap pekerja dan pengunjungnya. Supaya virus HIV bisa terdeteksi lebih cepat sehingga bisa menghindarkan anak terlahir dengan virus HIV. Biaya mungkin bisa ditanggung pemerintah.

    Saya pernah baca di majalah, suami/istri yang positif HIV bisa mempunyai anak kandung yang terbebas dari virus ini, selama mendapat penanganan yang tepat.

    Bagaimana pun, setiap orang berhak atas sebuah KESEMPATAN. Sekecil apa pun itu..

    *paling sedih kalau ada bocah ndak berdosa yang harus menderita..

  2. beberapa bulan lalu saya diberi kabar oleh kakak yang kebetulan singgah beberapa saat di bali. dia bilang, di bali sekarang banyak yang mengidap HIV. dia mencontohkan salah satu saudara jauh di kampung juga terkena HIV yang sekarang keadaannya sangat kritis. terus dia cerita, perilakunya itu tidak pantas sama sekali karena sering ke “cafe” untuk mabuk dan melakukan seks bebas.

    terus dia mencontohkan lagi yaitu tetangga istrinya yang juga mengalami hal serupa. kemudian dia mengutip berita di bali post bahwa angka hiv di bali meningkat.

    terus disambung lagi dengan ungkapan gelisah dari ibu saya. beliau bilang banyak rabies sekarang di bali. beliau berkata sambil mengerutkan wajah cemas. “sekarang bali sudah … “, ibu saya tidak tega untuk melanjutkan kalimat ini. tapi saya tahu maksudnya apa dari raut wajahnya yang muram itu.

    bali, akankah terus jatuh dan terpuruk? jika ini terus terjadi, bali hanya indah dalam sejarah saja. (mungkin saya terlalu pesimis)

    1. iya, tetanggaku di karangasem saja ada beberepa perempuan ibu rmh tangga dengan HIV.. pasti ada lebih banyak lagi, sayang mereka sering terlambat tahu statusnya jadi telat dapat pengobatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *