Senin (25/8) sore ini saya menelpon ke rumah singgah Yayasan Kasih Anak Kanker (YKAK) Bali. Ibu Rahayu, pengurus yayasan sedang tidak ada. Lalu saya berbincang dengan bu Emmy, kepala sekolah Sekolahku, program belajar semacam homeschooling di yayasan ini.
Saya ingin minta pendapat mereka mengenai keinginan untuk mengadvokasi kampanye pengadaan pelayanan kesehatan untuk pasien kanker di Lombok. Karena destinasi wisata yg konon internasional ini paling banyak menjadi tempat tinggal pasien kanker anak yang harus ke Bali, terancam putus sekolah karena lamanya proses pengobatan.
Lalu, kabar duka disampaikan, Sri, anak perempuan yang kami lihat sebentar di Sal Pudak RSUP Sanglah saat acara Merdeka dan Mandiri dengan Boneka Jari ini sudah meninggal. Saat itu, ibunya terlihat menangis sambil menunggui Sri yang terlihat sangat kesakitan. Intan membawakan boneka setelah mendapat izin perawat. Ia meninggal sore itu, sesaat setelah kami baru berkunjung ke rumah singgah YKAK, tempat tinggal sementara Sri.
Saya mengenalnya sebentar. Ketika pertama kali berkunjung ke Sekolahku, dan ini dia ulasan serta memori pada Sri. Ia akan bergabung di tembok foto “in memoriam” bersama temannya. Setelah berjuang dengan sangat keras melawan kanker.
===================================
Agar anak dengan kanker tak putus sekolah
Sejumlah anak dengan kanker yang harus menjalani perawatan panjang beruntung tak harus putus sekolah. Kini ada program Sekolahku, dibuat Yayasan Kasih Anak Kanker (YKAK) Bali setahunan ini.
Laily, anak perempuan ini baru saja ikut ujian nasional tingkat sekolah dasar di sekolahnya di Lombok Timur. Ia ke Lombok hanya untuk ikut ujian kelulusan ini beberapa hari karena tak pernah masuk sekolah seperti temannya.
Ia mengaku bisa menjawab soal-soal ujian walau sudah lebih setahun ini hadir dalam kelas hanya beberapa kali. Sebentar lagi, ia akan melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP di Lombok.
Laily mengikuti program Sekolahku. Ia bisa belajar dan tetap mengikuti semua pelajaran sesuai kurikulum sekolahnya saat dirawat di rumah singgah YKAK di Jalan Pulau Rembulan, Denpasar.
Ada beberapa guru yang mengajar dari pagi sampai sore hari. Tak hanya di kantor yayasan juga bisa menyambangi anak didiknya di rumah sakit. “Kami membantu sekolah asalnya di Lombok dengan mendidik dan mengirimkan tugas serta nilai mereka agar tak perlu tinggal kelas,” ujar Emmy Mellu, perempuan kepala sekolah Sekolahku ini.
Sarjana pendidikan ini bekerja penuh waktu dengan dua guru lain untuk mendidik semua anak yang tinggal di YKAK dan juga mendatangi rumah sakit. Emmy mengatakan anak dengan kanker dalam perawatan jangka panjang bisa putus sekolah jika kerap cuti. Menurutnya ini system yang cukup ideal untuk memenuhi hak dasar pasien dengan kanker atau tumor ini.
Terlebih lagi, sebagian pasien kanker dari luar Bali karena Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah adalah rujukan di Indonesia timur. Memiliki peralatan kemoterapi dan obat-obatan khusus yang tak tersedia di daerah lain.
Untuk mencari tempat tinggal saja biasanya sulit apalagi mengurus kelanjutan pendidikan anak-anak ini. “Kami juga tak membatasi lama tinggal pasien anak yang perlu perawatan jangka panjang di sini,” jelas Rahayu Kusumawati, pengurus YKAK Bali. Di rumah singgah semua kerabat pendamping berbagi tugas mengelola rumah ini seperti memasak, membersihkan, dan lainnya. Jika ada waktu luang, ada keterampilan membuat kerajinan bagi pendamping.
Hingga Rabu (4/6) kemarin ada lima anak yang tinggal. Dua anak perempuan pasien leukemia, seorang kanker limfoma, dan sisanya dua bayi laki-laki pengidap tumor. Ada 11 tempat tidur yang disediakan di rumah yang terlihat bersih ini.
Ruang belajar berisi mainan dan buku-buku bacaan sehingga anak-anak betah dan nyaman. Juga ada selembar foto ukuran poster berisi belasan anak-anak yang sudah meninggal.
Foto ini tak membuat situasi menjadi murung. “Kita semua nanti akan meninggal, tak hanya karena kanker. Lebih baik anak-anak tahu sebenarnya dari pada dibohongi,” jelas Emmy.
Hal ini diamini Riasih, ibu Laily. Ia mendidik anaknya agar tak mudah patah semangat karena melihat kematian. “Dia sudah sering lihat temannya meninggal, saya mendidik dia untuk tegar dan semangat. Karena itu salah satu obat,” tutur perempuan yang tinggal di Bali sudah lebih dari 2 tahun karena perawatan ini. Sebelum tinggal di YKAK, ia sempat di rumah singgah kanker lain tapi harus pindah karena maksimal tinggal 5 hari.
Laily mengidap leukemia kronis. Ia terapi kemoterapi oral. Pun demikian, obat oral ini pun disebutnya tak bisa dibeli di Lombok agar ia bisa kembali pulang. “Menakar dosis obat juga tak boleh sembarangan, jadi harus di Bali dulu,” keluhnya. Ia menyebut karena banyak tantangan ini untuk pengobatan kanker, banyak anak-anak yang hanya berobat non medis di Lombok.
Laily terlihat gembira dengan temannya Sriasih dari Buleleng yang mengidap leukemia akut. Kedua anak perempuan cantik ini tak ingin kehilangan harapan untuk bisa terus bermain dan belajar.