AJI Denpasar Minta Pengusutan Kasus Kekerasan Wartawan

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar menyatakan sikap agar mengintensifkan pengusutan kasus kekerasan wartawan. Hal ini diungkapkan dalam Konferensi AJI Kota Denpasar 2009, di Denpasar, Sabtu. Dalam acara ini terpilih Rofiqi Hasan, wartawan Tempo sebagai Ketua AJI Denpasar dan Ni Komang Erviani, kontributor The Jakarta Post untuk periode 2009-2012.

Rofiqi dan Erviani dipilih secara aklamasi setelah unggul suara dalam tahap pencalonan. Keduanya mendapat mandat untuk meningkatkan advokasi untuk kebebasan pers dan informasi yang bertanggung jawab, advokasi kekerasan pada jurnalis, dan penyalahgunaan etika media.

Ketua dan Sekretaris AJI Denpasar sebelumnya adalah Bambang Wiyono (wartawan NusaBali) dan M. Ridwan (wartawan Radar Bali).

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan saat penutupan Konferta, AJI juga meminta penghentian praktik pengaburan berita dan iklan, serta penyalahgunaan profesionalisme wartawan.

Sejumlah kasus kekerasan tahun ini dan masih berlangsung penyidikannya adalah kasus Pembunuhan AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali dan pemukulan oleh Paul Handoko pada fotografer Radar Bali Miftahudin Halim.

Setelah bekerja keras selama 100 hari, Polda Bali berhasil mengungkap misteri pembunuhan AA Prabangsa. AJI  berharap kerja keras itu akan berujung pada  penegakan keadilan sesuai dengan proses hukum serta bukti-bukti yang terungkap. “Selain itu,  kami mendesak polisi masih akan terus mengembangkan penyidikan kepada pihak-pihak yang terindikasi memiliki keterkaitan dengan kasus ini,” ujar Rofiqi Hasan.

AJI Denpasar  akan mengawal kasus ini agar kebenaran dapat ditemukan sehingga dapat menjadi pembelajaran terhadap publik dan kalangan jurnalis sendiri. Bahkan bila di  dalamnya terdapat hal-hal yang akan terasa pahit bagi kalangan jurnalis.

AJI memandang pembunuhan itu adalah upaya untuk menghalang-halangi kinerja jurnalis dalam menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh publik sehingga harus dipandang sebagai faktor yang memberatkan bagi pelakunya.

“Mendesak kepolisian untuk mengungkap aktor intelektual yang terlibat, selain tersangka saat ini,” kata Nezar Patria, Ketua AJI Indonesia.

Selain itu, AJI Denpasar menyatakan meningkatnya kekaburan antara berita dan Iklan. AJI Denpasar juga mengingatkan kalangan pemilik dan pengelola media untuk jelas-jelas membedakan antara berita dan iklan.

Hal itu karena setiap iklan dipastikan hanya akan mewakili kepentingan sepihak dari pemasang iklan dan mengabaikan aspek-aspek kerja jurnalistik seperti akurasi dan keberimbangan. Setiap iklan yang dimuat di media dalam bentuk apapun semestinya harus diberi tanda khusus yang diketahui oleh masyarakat sebagai pembeda  dengan berita.

Forum Konferta memandang, kecenderungan untuk melakukan pengaburan batas antara berita dan iklan pada akhirnya akan melemahkan kepercayaan publik kepada media dan jurnalis. Apalagi bila kemudian profesi jurnalistik dipaksa untuk merangkap sebagai pencari iklan. Situasi itu mendorong terjadinya pelecehan terhadap profesi wartawan dan pelanggaran kode etik jurnalistik karena hilangnya independensi wartawan saat menulis berita.

Selain itu juga soal maraknya penyalahgunaan profesi wartawan. Seiring dengan isu kebebasan pers yang memberi kemudahan  bagi pendirian media dan menjalani profesi jurnalis, sejumlah pihak mendirikan media tanpa modal hanya berlatarbelakang kepentingan bisnis tanpa modal yang cukup untuk mensejahterakan wartawannya. Dampak buruknya sudah mulai kelihatan dengan kemunculan begitu banyak wartawan yang hanya menjadikan profesi ini sebagai modus mencari uang seringkali dengan melakukan tindak pemerasan.

Konferensi AJI Kota Denpasar merasa perlu untuk menyatakan keprihatinan atas situasi tesebut. Konferensi  menghimbau kalangan pemilik modal  untuk tidak menjadikan bisnis media hanya sebagai sarana untuk melakukan spekulasi bisnis tanpa idealisme serta kemampuan memberi kesejahteraan bagi wartawannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *