Hilir mudik di Malioboro selama 23-27 Juni ini, kesenangannya cuma satu. Cuci mata. Wajah, pakaian, dan perangai turis-turis sebangsa. Barangkali saya juga bagian dari objek cuci mata pihak lain. Hmm…
Lalu lalang ribuan orang tiap hari, sebagiannya mungkin turis yang sama, karena menginap di daerah Malioboro. Seperti saya dan Bani. Celakanya, selama lima hari di pusat turis di Jogja ini mata saya belum menangkap desain kaos lucu. Maksudnya tshirt unik yang dipake orang. Adanya cuman Billabong, Quiksilver, freestyle, dan kaos-kaos yang menjual trade mark alias merek lainnya. Kaos yang tak terlihat mereknya pun nyaris sama, semuanya dengan desain khas kaos distribution outlet (distro). Menggunakan kata-kata berbahasa Inggris pendek, yang bagi saya pesannya nggak jelas.
Saya sendiri ke Jogja membawa lima potong pakaian. Nyaris semuanya kaos komunitas yang dibuat sendiri. Seperti kaos kampanye penanggulangan HIV dan AIDS, teksnya, “Nurani Bekerja, Kata Bicara. Ada juga kaos pemberian teman, Sakti Soe, dengan gambar nama usaha jasa desain arsitekturnya yang bantu mendesain rumah saya, “Aisyharmony.com”. Hehe… dipake di badan, sebagai apresiasi dan balas jasa yang baru dibayar dengan ucapan terima kasih.
Sementara suami saya bawa tiga potong kaos yang bernada propaganda. Misalnya IMF: International Monster Fund yang diproduksi Mitra Bali, sebuah yayasan yang mengadvokasi fair trade di Bali. Kaos lain bergambar kartun bayi-bayi telanjang dari Lebah T-shirt. Desainnya berupa cover majalah Playboy, tandingan dari gerakan anti pornografi. Kaos ini dibuat setelah Majalah Playboy Indonesia digugat kelompok radikal. Satu lagi kaos bergambar Pramoedya Ananta Toer dengan kutipan Adil Sejak dalam Pikiran..
Saya berharap dapat cuci mata kaos-kaos lucu lainnya di Malioboro. Apa daya, tak ada satu pun kaos yang membuat mata melotot.
Padahal, di Jogja salah satu basis produksi kaos fangkeh, dari kata funky. Kok nda ada yang pake? Pasca hilangnya pamor Dagadu, sepertinya cukup banyak kok brand-brand baru. Ya, gak harus kaos-kaos Jogja sih. Pengennya lihat kaos-kaos lain dari berbagai etnis turis yang lalu lalang di Malioboro.
Untungnya saya ke pasar raya Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), di Benteng Vredenburg. Di sana saya menemukan dua stand yang menjual kaos-kaos lumayan ndablek. Misalnya stand khusus baju anak-anak produksi Lare-lare dari Solo yang memajang kaos warna ngejreng, pink, biru menyala-nyala, dan kuning. Kaosnya bermain-main dengan teks.
Misalnya Asiholic, Akademi Alumni ASI Eksklusif, Dilarang Ngempeng, dan lainnya. Lumayan asyik karena baru pertama kali lihat desain kaos lucu untuk anak-anak. Teksnya juga edukatif dengan bahasa santai. Stand lainnya, milik PT Aseli Dagadu Jogjakarta. Masih memplesetkan istilah lokal Jogja dengan gaya pop. Sayang, saya masih belum menemukan kaos yang asyik dan baru di stand ini.
Toh, bagaimana pun Jogja masih menjadi kawah untuk ide-ide kreatif yang meluap-luap. Nilai-nilai lokal yang modern, mudah dicerna, dan sekali lagi funky, masih tersisa di Jogja. Industri kreatf ini dikawal anak-anak muda, sebagiannya nyambi kuliah. Dagadu juga bisa dianggap monumen untuk ndustri kaos kreatif Jogja.
Dagadu adalah Jogja. Brand Jogja yang lahir dari industri kreatif, memberikan kekuatan ekonomi baru untuk warganya. Nilai tambah pula buat pariwisata. Bagaimana pun citra-citra atau komoditas itu penting untuk dunia pelancongan. Seiring meredupnya Dagadu sebagai benda most wanted di Jogja, bukan berarti industri kaos kreatif ini mati. Malah menciptakan merek-merek baru. Semakin lucu, makin seru pertarungannya.
Bagaimana dengan Bali? Melihat tumpukan manusia di depan pintu masuk Joger, kita seolah-olah menyimpulkan Joger masih jadi branded Bali. Bahkan di Jogja, kita masih bisa melihat puluhan badan berkaoskan Joger. Ternyata industri kata-kata ini masih menyihir. Atau jangan-jangan, sebagian turis itu belum tahu ada brand lain yang lebih menantang?
Sejumlah merek kaos produksi Bali lain yang lebih kreatif dan ndablek, saat ini mulai menyelusup ke pusat perbelanjaan pusat turis. Ada Jangkerik dan Lebah yang menjual desain kartun. Tema-tema kartunnya sangat lokal tapi bernas, mengangkat budaya dan tradisi yang mengkritisi Bali. Berbalik dengan Joger yang menjual teks.
Sambil jalan kaki, saya, ayah, dan Bani mulai mereka-reka desain teks kaos lucu untuk di Bali. Gara-garanya melihat gambar wayang di Pasar Beringharjo. Kacau balau ide-ide yang bersliweran. Misalnya, “Jancuk Raimu Koyo Petruk” (artinya, wajahmu seperti petruk). Untuk pasar Bali, “Naskleng, Goban Ci Cara gareng” (wajahmu kaya gareng).
Setidaknya kita jadi cengar-cengir sendiri. Bani, anak kami ikut-ikutan berhaha-haha. Ternyata, selera humornya lumayan juga. Hehe..
Ide teks itu adalah mengemas sesuatu yang udik dengan nuansa yang dekat dan bersahabat. Jancuk untuk sebagian orang Surabaya sering digunakan sebagai sapaan akrab. Mungkin di daerah lain sangat kasar. Demikian pula naskleng di Bali. Jancuk dan naskleng, bermakna sama, umpatan. Ini bisa jadi terapi mental juga buat orang pemarah atau bangsawan. Begitu bukan? Bukan..
wahhh baguss, lucu 😀
Tentang Dagadu, betul skali. Jogja masih masuk jadi icon inspirasi. Teman saya yang membantu kemas brand Dagadu menerangkan kenapa slogan Dagadu “Kapan ke Jogja Lagi?”. Itu adalah hasil riset karena joga adalah kota yang memorable. Jadi… selalu menantang untuk kembali datang.
begitu!
memble: selera humor mba oke. huahahua..
kangayip: kaos oke bali apa lagi kang? share dong. biar banyak referensi untuk temen2 yang kesini.
didut; pilih raimu koyo petruk ato gareng, mas??
wah jadi pingin balik neng jogja neh, jalan2 di malioboro, kaliurang aja kayaknya
ugh serunya jalan2…tapi biasanya mbok LD kan wisata kuliner juga, mana nih reportasenya???
iya wisata kuliner nya mana
*ikut2an*
😀
artha: ane belum pernah ke kaliurang, bli… kenkene? soalna lebih suka cuci mata
via: kuliner jogja gampang dapetnya di bali sih, ga ada yang trlalu spesial gitchu..
lindaleenK: fav-ku cuman nasi kucing sih.. gimana dong
jogja is my 2nd home…. yang paling bikin jatuh cinta itu makanannya. dimana-mana warung makan, dimana-mana burjo, makin malem makin banyak yang jual makan. disini, makin malem makin jauh cari makannya…. *McD Sanur*
hmm.. jadi kepikiran koleksi kaos komunitas.. 🙂
Ulasan yang sangat menarik. Alangkah menariknya bhinneka tunggal ika jika setiap daerah bangga dengan kekuatan daerahnya termasuk kata-kata khasnya, tapi tetap dapat menghargai perbedaan kreatifitas daerah lain. Salut bu tulisannya. Tetap kreatif bu.
Saya sedang kumpulkan info nih buat kaos Bali yg lain. Semoga bisa segera di share. Setahuku, Mas Anton lagi prepare tuh….
accang: hai bang. seneng banget kalo liat bahasa dearah lucu tapi ada pesannya
ayip: aduh, bersaing dengan mbah-nya orang kreatif bali nih. ditunggu kang kaosnya. diadu dengan sintes-hirt ya. hwahaahah
untuk saat ini kaos-kaos yg ada di bali mmg tidak terlalu menarik. begitu jg di jogja. soale sudah pada mengikuti kemauan pasar. jdnya ga asik lagi.
joger, misalnya, sudah over expose. cetak banyak semata utk memenuhi kebutuhan pasar. maka, teks2 kaosnya jg makin ga jelas. trlalu panjang tulisannya. isinya jg ribet.
jd, kapan kita mulai sinteshirt, bu? mmmuah!
aiih, met pagi bunda…*jealous ney* hehehe…
anton: habis lebaran. hwahahaha…
kaka kiyut: eh, sapa ni ngaku-ngaku kiyut???
permisi…numpang liwad