Warga Perlu Mengawal Kebebasan Media

Sekitar 50 konsumen media di Bali mendiskusikan pelanggaran oleh media. Antara lain kurang diperhatikannya kepentingan publik, tidak jelasnya batas antara iklan dan berita, serta kurang terlibatnya warga sebagai konsumen media. Karena itu warga juga perlu berdaya untuk mengimbangi kebebasan media tersebut. Rembug warga konsumen media itu dilaksanakan di Danes Art Veranda, Denpasar Minggu (27/7) malam kemarin.

Rembug konsumen media yang untuk pertama kalinya dilakukan di Bali ini diadakan oleh panitia bersama yang terdiri dari Walhi Bali, Sloka Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Kisara, dan beberapa lembaga maupun individu lain yang mempunyai perhatian terhadap kualitas media di Bali. Di antaranya Popo Danes, Mitra Bali, Asana Viebeke Lengkong, Hira Jhamtani, Dokter Oka Negara, dan lainnya. Panitia bersama ini masih terbuka untuk keterlibatan publik.

Adapun pesertanya dari aktivis Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bali, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dokter, pemain teater, penyair, remaja, blogger, wartawan, dan lain-lain.

Luh De Suriyani, dari Sloka Institute, yang mengantarkan diskusi mengatakan bahwa rembug warga konsumen media ini digagas berbagai elemen masyarakat baik atas nama lembaga atau pribadi. Sebagai komunikasi antar warga agar warga bisa curhat tentang apa saja yang ada di media.

“Sampai saat ini belum banyak yang bergerak untuk mengampanyekan dan belajar tentang media di Bali. Misalnya apakah media sudah memberi tempat yang cukup untuk publik. Dari sini semoga akan ada tindak lanjut,” kata Luh De yang juga wartawan lepas tersebut.

“Karena di Bali belum ada media watch atau lembaga konsumen media seperti di kota-kota lain di Indonesia,” lanjut Luh De.

Padahal, media massa di Bali juga makin banyak yang melakukan pelanggaran. Nyoman Mardika dari KPI Bali memberikan contoh bahwa beberapa media penyiaran pun pernah melakukan pelanggaran. Mardika menyebut contoh iklan di Bali TV oleh calon gubernur Made Mangku Pastika yang saat itu masih menyebut diri sebagai Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN), lembaga negara yang menanggulangi penyalahgunaan narkoba.

KPI kemudian menegur agar Pastika tidak menggunakan lembaga BNN dalam kampanye itu. Teguran ini diterima dan iklan di TV itu pun berubah.

Contoh lain yang disebut Mardika adalah materi siaran di radio Kuta FM yang dianggap berbau cabul. Aduan dari masyarakat itu ditindaklanjuti KPI Bali dengan menegur pihak perusahaan penyiaran. “Kami mengharapkan masyarakat apabila ada tayangan yang tidak sesuai aturan mohon lapor ke KPI,” tambah Mardika.

Media penyiaran juga melakukan pelanggaran berupa ceramah maupun materi siaran lain yang seringkali merendahkan agama tertentu. Tidak hanya oleh TV nasional, tapi juga TV lokal.

Pelanggaran oleh media cetak ternyata jauh lebih banyak dibanding pelanggaran oleh media penyiaran. Ni Komang Erviani, pengurus AJI Denpasar, mengakui itu. “Sebagai wartawan, saya sendiri melihat ada yang salah belakangan ini. Paling banyak adalah berita-berita iklan yang membohongi masyarakat. Dan orang menutup mata untuk mengkritik soal itu,” kata Ervi.

Wartawan koran Seputar Indonesia itu menyebut adanya media yang hanya memberikan tanda bintang sebagai tanda bahwa berita tersebut adalah iklan. “Masyarakat tidak tahu bahwa itu iklan. Jadi ya pembohongan pada pembaca,” tambah Ervi.

Akibat kebijakan berita iklan ini, maka berita-berita yang berhubungan dengan publik pun tidak bisa masuk karena tidak bayar iklan. Abu Bakar, pemain teater dan budayawan di Bali, menceritakan pengalamannya.

“Ketika kami mengirim berita pengumuman hasil lomba, ternyata kami disuruh bayar agar berita itu bisa masuk. Lha ini kan berita penting untuk banyak orang tapi kok kami disusuruh bayar. Karena saya keras kepala, saya tidak jadi pasang berita itu di media tersebut,” kata Abu.

Banyaknya berita iklan tersebut, menurut wartawan koran Ratna Hidayati, adalah dampak kebebasan pers. Banyak pers mendewakan iklan. “Itu satu-satunya cara media untuk bisa berkembang,” kata Ratna. Apalagi, lanjutnya, banyak pemasang iklan yang meminta format baru dalam beriklan. Misalnya dalam bentuk berita bukan iklan biasa.

Ratna menyebut media-media nasional, baik TV, koran, maupun majalah, pun melakukan itu.

Sementara Dokter Oka Negara melihat isu pendidikan dan kesehatan tidak mendapat tempat dalam pemberitaan media. Padahal, menurut mantan direktur Kita Sayang Remaja (Kisara) ini, anak-anak dan remaja yang terkait dengan dua isu tesebut adalah hal dasar yang harus dipenuhi dari pembangunan manusia.

Dokter Oka mengharapkan KPI membuka open house pada hari tertentu khusus untuk menerima pengaduan warga, agar warga makin terdorong untuk mengkritisi siaran media yang makin beragam saat ini. “Janganlah KPI terlalu birokratis dalam menerima pengaduan warga,” pintanya.

Masukan warga ini sebenarnya sesuai dengan isi Undang-undang Pers No 40 tahun 1999 soal peranan media massa yaitu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan. Selain itu media massa juga harus mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Menurut kaidah Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach kepentingan warga adalah yang pertama. Karena itu, Bab VII Pasal 17 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Dengan cara memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Juga dengan menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Dari forum rembug warga ini disepakati untuk membuat diskusi-diskusi rutin sebagai sarana komunikasi antar pengusaha media dan warga konsumen media. Selain itu bagian dari keinginan warga untuk terlibat dalam produksi informasi. Rencana kegiatan lain adalah membuat blog khusus kompain atau keluhan warga yang tidak ditampung media.

One thought on “Warga Perlu Mengawal Kebebasan Media”

  1. nice post.
    btw kebebasan pers saat ini masih di pertanyakan dan banyak tersdistorsi oleh kepentingan2 segelintir orang yang mempunyai power of money dan public figur….
    jadi hal 2 yang bersifat sience di lupakan dan cenderung ke arah desdruktif mental….. mana visi misi pers yang sesungguhnya?

Leave a Reply to erickningrat Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *