Sad Ending

Kunjungan saya ke kantor KPA Bali, Jl Melati pada Senin (18/2) Februari lalu itu benar-benar menjadi klimaks. Sad ending. Penyesalan dan kekecewaan saya membuncah.

Padahal hari itu saya membawa semangat yang bertumpuk ke KPA. Saya merencanakan akan membuat beberapa artikel Lentera media cetak dengan tenang sambil makan siang. Saya mengemas makan siang dari rumah, lengkap dengan air minumnya. Tumben banget, padahal saya biasanya selalu minta air di Rai-IHPCP. Nggak tahu, mungkin saking semangatnya mau menghabiskan setengah hari itu di KPA.

Sepuluh menit dari rumah, saya sudah sampai di KPA. Sampai di depan pintu masuk ruang Kulkul (dulu), saya terperanjat. Ruangan itu sudah bersih dari tumpukan majalah, media jaringan HIV/AIDS dari luar Bali, makalah2 bank data HIV/AIDS selama tiga tahun, dan tentu saja majalah Kulkul.

Perasaan saya limbung karena rasa khawatir yang tinggi. Saya langsung menyambar gagang pintu lemari arsip majalah Kulkul selama tiga tahun yang ada di pojok ruangan. Hati saya mencelos… Benar saja, semua arsip Kulkul lenyap. Lemari segi lima kecil tempat arsip Kulkul selalu berjejalan (karena saking kecil dan bentuknya persegi lima-nggak match dengan Kulkul yang segi empat) itu kini hanya ruang hampa.

Saya melolong mengajukan pertanyaan beruntun pada Pak Yahya, PO KPA, satu-satunya orang dalam ruangan itu. ”Pak, arsip Kulkul kemana? Kok saya nggak dikasi tahu ada pembersihan kaya gini? Kalau tahu kan saya yang ngepak arsip2 itu dulu?” saya bertanya dengan nada gusar.

Pak Yahya menjawab bahwa yang membersihkan petugas kebersihan karena waktu itu ada pemeriksaan di kantor. Saking gusarnya saya tak ingin kembali bertanya, apa hubungannya pembersihan arsip Kulkul dengan pemeriksaan? Emangnya Kulkul itu Buku Bumi Manusia-Pramudya Ananta Toer yang harus dibakar pada jaman orba.

Nafas saya tersengal. Saya langsung menyimpulkan dengan penuh emosi. Oke, inilah puncak pembiaran KPA pada kerja-kerja tim Kulkul. Bahwa memang benar Kulkul tidak berarti apa pun untuk KPA, dan tidak ada yang akan peduli dengan jejak-jejak Kulkul sebagai asset informasi KPA. Gimana peduli, menyimpan arsipnya pun tidak ingin.

Padahal saya berpikir, Kulkul bisa jadi salah satu oleh-oleh kalau ada kunjungan kerja dari KPA atau lembaga HIV/AIDS lain ke KPA Bali. Tak apalah cuma jadi pajangan, yang penting ada jejak yang tertinggal bahwa KPA pernah membuat media.

Ternyata pengulangan sejarah terjadi. Sebelum Kulkul pun, KPA pernah membuat majalah soal HIV/AIDS yang didanani AusAid. Saya baru tahu KPA pernah membuat majalah seperti ini setelah tiga bulan saya membuat Kulkul. Itu pun tahuanya tidak sengaja.

Padahal majalah itu sangat berguna untuk melihat riwayat pennaggulangan AIDS pada awal epidemi ini di Bali. Tentu saja sangat berguna untuk kami di redaksi, melihat apa yang bisa disempurnakan dari majalah ini agar Kulkul bisa tampil lebih baik.

Selama beberapa menit saya hanya membatin dan memikirkan (berasumsi) cueknya KPA pada Kulkul. Sambil merenung itu saya membuka beberapa file Kulkul di komputer yang kini dipakai PO KPA (memang sudah selayaknya, walau saya juga tak diberi tahu bahwa semua sarana operasional Kulkul sudah dialihkan. Karena belum ada pernyataan resmi pada kami bahwa Kulkul telah dihentikan).

Saya tak jadi mengambil data untuk artikel Lentera karena saya igin secepatnya membongkar gudang untuk mengunpulkan arsip sebelum semuanya dijual. Saya takut sekali kalau sudah dijual atau dibuang. Untuk data-data Kulkul di komputer, saya lalu menelepon Warsa, desainer Kulkul untuk mengamankannya dalam hardisk lain. Soal ini, Pak Yahya sudah saya beritahu. Saya bisa gila jika data-data dan naskah HIV/AIDS di Kulkul selama tiga tahun hilang.

Saya memanggil Mbok Wayan, yang biasa membersihkan kantor untuk mengajaknya ke gudang. Ia sendiri tak tahu dimana semua barang di ruangan Kulkul dibawa karena yang membersihkan temannya, Mbok Nyoman.

Dengan nafas tertahan saya membolak-balik majalah2 yang tertumpuk tak karuan. Upss, saya juga melihat bundelan Kulkul satu tahun yang sudah dipress itu tergeletak. Oh, arsip yang sudah dibundel rapi pun tak sudi disimpan. Saya meminta berkali-kali ke Mbok Wayan agar semua majalah Kulkul jangan dijual ke pemulung. Saya bilang mungkin saja Bu Dayu tiba-tiba minta untuk laporan keuangan. Ini hanya trik saya saja menakut-nakuti agar tidak dijual. Kalau saya yang minta, ah, siapa yang denger?

Saya sungguh takut semua majalah itu dijual. Padahal, masih banyak yang minta. Tiga sepupu saya yang kelas I SMA aja kemarin minta Kulkul di rumah saya untuk buat tugas sekolah nggak tak kasi. Cuma untuk dipinjamkan, dan minta dibalikin seminggu lagi.

Saya menumpuk beberapa arsip yang saya temukan di kardus kecil. Saya tak berharap berhasil mengumpulkan 30 edisi arsip Kulkul karena sudah nggak jelas lagi dimana. Akhirnya saya menumpuk Kulkul di dua kardus. Saya bingung juga mau naruh dimana, sampai akhirnya pasrah untuk menyelusupkan arsip itu kembali ke KPA, dalam lemari kayu tempat berbagai alat komputer yang tak terpakai.

Ratusan sisa majalah lain yang tidak terkirim karena petugas distributor tak ada, saya minta ijin ke Mercya untuk dibagi-bagi ke sejumlah siswa di rumah saya. Pokoknya jangan dijual dulu sebelum dimanfaatkan orang.

Dengan nelangsa saya meninggalkan kantor KPA. Pikiran saya berkecamuk. Saya ingin membalas kekecewaan dan frustasi ini dengan membuat sesuatu untuk melanjutkan apa yang telah Kulkul hasilkan. Saya pikir sebagian informasi soal Odha, pengobatan HIV, suka duka petugas lapangan, dll, masih cukup bermakna untuk dibagi.

Saya akan membagi semua data dan informasi HIV/AIDS di Kulkul ini lewat blog saja untuk langkah awal. Dana ratusan juta itu tak boleh lenyap hanya oleh pembiaran institusi. Informasi memang harus dikuasai untuk dibagi.

14 thoughts on “Sad Ending”

  1. Duh, sadis banget tuh KPA?
    emang KPA itu apa ya? kok gak pengertian banget, gak ngerti arti arsip, gak kerti literatur, gak ngerti tulisan, gak pernah makan bangku sekolah ya…?

    KPA=Korps Pasukan Aserehe, ya? pantes aja, main sikat aja. Aku jadi jengkel…
    Ayo De.. bertindak yang tegas, marahin saja siapa yang kasih perintah beres2 tanpa informasi itu…

    jadi sebel aku…!

  2. to all: KPA = KOmisi Penanggulangan AIDS (Aduh, emang gak gaul ya KPA ini. Atau isu ini tidak digauli, padahal hasil dari menggauli. Ih, maksa banget. hik…hikk..)

    Dilemparin kondom, wah terima kasih sekalee… jangan yang bekas ajah

  3. Masa sih KPA seperti itu? Kalau tidak salah KPA ada dibawah wagub yang sering nongol di teve masalah penanggulangan HIV/AIDS.

    Saya sempat membaca Kulkul yang dikirimi secara misterius ke klinik tempat saya bekerja, isinya memang sangat bermanfaat. Sayang majalah seperti itu memang ‘tidak layak jual’ dan tidak menghasilkan duit.

  4. wah, aku lambat banget dengar berita.
    Sori lode, lama gak buka blog mu.
    Btw, gak usah deh ngarepin KPA untuk kasi info soal AIDS. Ayo lode, lanjutin rencana Kulkul modal dengkul. Aku siap bantu kok. Maju terus pantang mundur………….

  5. blogdokter: Ini bukan representasi KPA secara kelembagaan tapi manajemennya. Saya sih salut ma relawan KPA yang semangat banget ngurus KPA. Secara mereka cuma relawan dan tokoh sibuk kaya dokter IMCW juga. seperti prof wirawan, dr. tuti, dr. mangku karmaya, dll.

    ervie: ah, beneran? awas syibuk gak bisa di ganggu di sindo bali.

  6. maaf aku telat bacaNya…

    koq segitunya sih KPA…jadi ill fell bacanya

    gimana Mbok…
    Kul-Kul Modal Dengkul ????

    aku siap kapanPun….!!
    Let`s Get Started…

  7. Beberapa bendel arsip kulkul ada dibawa Mercya ke tempat saya, tapi kok saya nggak tahu kalau tempatnya arsip kulkul di KPA dibersihkan ya? Weleh, untung sempat baca artikel blog ini. Gmn tuh jadinya? jangan-jangan no money, no action jadinya kulkul juga dilupakan KPA..belum lagi nanti wagub ganti…

    Saya dukung Kulkul bisa masuk web, paling nggak di blog.kan keren juga…Siap bantu buat Kulkul Modal Dengkul nya…

    Contact me ya mbak Lode..

  8. widari: tunggu tanggal mainnya

    dok oka: arsip kulkul yang dibawa ke PKBI itu bukan arsip yg saya maksud. itu kulkul baru yang memang selayaknya didistribusikan. thx dokter…

Leave a Reply to widari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *