Mengisi Celah Peran Ortu di Sekolah

Belajar dan bermain adalah hak anak. Foto: Luh De Suriyani

Menjadi anggota Komite Sekolah di sekolah dasar anak-anak saya membuka mata jika pendidikan memerlukan peran serta orang tua lebih intens. Salah satunya memberi jeda pada rutinitas sekolah yang super padat dengan kegiatan yang kontekstual.

Misalnya usulan seorang anggota Komite baru-baru ini untuk memberi usul sekolah membuat simulasi dan pendidikan evakuasi gempa bumi pada siswa. Kepala Sekolah langsung merespon dengan membuat simulasi evakuasi gempa bumi secara mandiri setelah gempa bumi 7 SR yang merubuhkan ratusan rumah di Lombok, NTB.

Bahkan simulasi berlangsung tepat dengan peristiwa gempa susulan, sesaat setelah bel pulang berbunyi. Latihan simulasi ini makin bermakna ketika gempa-gempa susulan lain juga dirasakan di Bali. Anak-anak setidaknya sudah punya pengetahuan dan mengikuti instruksi. Misalnya anak-anak dibimbing guru mencari perlindungan sementara, kemudian turun dari lantai atas dengan tas di atas kepala secara perlahan. Tidak berebutan. Alih-alih panik, anak-anak dilatih jadi siaga.

Hal ini diceritakan anak saya dengan gembira. Instruksi ini sejalan dengan apa yang kami contohkan di rumah. Sinkron.

Pengalaman lain adalah saat mendaftar, mencari, dan menjalani hari pertama di sekolah baru. Sistem zona membuat orang tua jadi lebih banyak belajar, memahami prosedur, dan mencari siasat. Sekolah mana dalam zona yang sesuai dengan nilai USBN, atau sekolah luar zona mana bisa diikuti melalui jalur prestasi. Saya setuju dengan itikad baik sistem zona ini yakni pemerataan akses walau cukup rumit dalam pelaksanaannya. Web Sahabat Keluarga Kemdikbud membagi alasannya.

Pada akhirnya walau berusaha lewat zona dan adu prestasi, anak saya tidak mendapatkan sekolah negri. Sebagai orang tua saya mengisi kekecewaan dengan bertanya ke sekolah, mencari tahu bagaimana proses dan sistem ini berjalan. Salah satunya daftar nilai tes jalur prestasi. Namun daftar ini ketika itu belum saya dapatkan, guru yang mengurus katanya sedang tidak ada.

Melihat anak saat lomba olimpiade Bahasa Inggris dari jendela sekolah. Foto: Luh De Suriyani

Saya membagi kabar ini ke anak untuk mengobati kesedihannya. Intinya kami ingin membudayakan keterbukaan dan transparansi. Kalau tidak lolos karena fair, pasti menerima dengan lapang. Tahapan berikutnya adalah segera mencari sekolah swasta, ini tak mudah karena nyaris semua sekolah yang kami tuju sudah menutup pendaftaran masuk. Mereka tak menunggu pengumuman sekolah negri.

Ini periode yang cukup menekan emosi, fisik, dan mental kami. Sampai akhirnya di menit-menit akhir kami mendapat sisa kursi di sekolah dekat rumah, bukan target tapi alternatif terbaik dari sejumlah alasan yang sudah diset sejak awal. Salah satunya, cari sekolah terdekat karena anak akan naik sepeda, pulang pergi. Ini inisiatif yang harus kami hargai dari anak, upayanya untuk mandiri.

Usai prosesi penerimaan siswa baru, saya menghadiri undangan rapat orang tua dan wali murid. Saya menunggu peristiwa ini untuk mengenal kepala sekolah dan guru-guru wali kelas. Juga mengenal sekolah, kegiatan pendidikan, dan ekstrakurikulernya. Kepala Sekolah menginformasikan dengan lugas termasuk biaya pendidikan selama sekolah. Menariknya, perhitungan biaya operasional sekolah juga disampaikan, untuk menilai berapa pengenaan SPP tiap bulan yang harus dibayar.

Di forum yang dihadiri ratusan orang tua/wali ini, saya bertanya soal website sekolah sebagai media komunikasi dan informasi. Kepsek menyebut pihaknya sedang membuat. Kemudian memastikan biaya-biaya apa lagi yang kemungkinan dipungut sepanjang pembelajaran 3 tahun agar kami bisa sejak awal menabung, tidak kaget.

Di luar forum, saya mendekati Kepsek untuk menawarkan diri jika membutuhkan bantuan dalam pembuatan website, mengisi kontennya, jika diperlukan. Secara suka rela saya akan bantu. Demikian juga soal ekskul, karena saya punya minat di bidang jurnalisme, saya bertanya ke guru pembina apakah memerlukan bantuan untuk ekstra jurnalistik. Guru pembina menyambut dan menyampaikan keluh kesahnya, tantangan berat untuknya menangani ekstra ini. Respon awal yang baik, semoga saja saya bisa berkontribusi.

Tak sedikit, celah-celah yang bisa diisi orang tua dalam proses pendidikan di sekolah anak-anak kita. Guru tidak memiliki kapasitas di semua hal, sementara makin banyak tantangan sosial yang harus disambungkan dengan materi pendidikan. Selain kesiapsiagaan bencana, juga ada persoalan sampah plastik, polusi, dan lainnya. Celah ini bisa ditambal saat masa-masa rehat belajar, misalnya saat pengisian rapor atau ekskul.

Ortu murid ikut berbaris mewakili anaknya yang berhalangan hadir dalam pengumuman kelulusan. Foto: Luh De Suriyani

Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan menyebut pada Pasal 6 bentuk pelibatan keluarga pada satuan pendidikan dapat berupa: menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan; mengikuti kelas orang tua/wali; dan menjadi narasumber dalam kegiatan di Satuan Pendidikan. Selain itu

berperan aktif dalam kegiatan pentas kelas akhir tahun pembelajaran; berpartisipasi dalam kegiatan kokurikuler, ekstra kurikuler, dan kegiatan lain untuk pengembangan diri anak; dan bersedia menjadi aggota Komite Sekolah.

Bentuk pelibatan keluarga seperti dalam Pasal 7, di antaranya menumbuhkan nilai-nilai karakter; memotivasi semangat belajar anak; mendorong budaya literasi; dan memfasilitasi kebutuhan belajar anak.

Banyak celah mengisi peran ortu di sekolah. Mari berbagi pengalaman bagaimana kita bisa mengoptimalkannya. Misalnya apa yang dilakukan Dinas Pendidikan Tanjung Pinang ini. #sahabatkeluarga

2 thoughts on “Mengisi Celah Peran Ortu di Sekolah”

Leave a Reply to Adi Mahardika Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *