Konflik Penanganan Sampah Rumah Tangga Kota Denpasar

Dimuat di The Jakarta Post

Nyaris tiap hari warga di Jl. Subak Dalem, Denpasar Utara mengeluh soal penumpukkan sampah tanpa pengelolaan di beberapa lahan kosong di daerah itu. Kadangkala sampai menyulut konflik antar tetangga. Seperti yang terjadi pada suatu pagi, 3 Desember lalu.

Bu Risma, 36 tahun, bersitegang dengan beberapa tetangga yang seenaknya menumpuk sampah di sisi timur rumahnya. Lahan kosong sebelah rumahnya itu kini hampir setengahnya tertutup timbunan berbagai jenis sampah. Kebanyakan sampah plastik seperti tas kresek, bungkus makanan ringan, dan sebagian lagi limbah sisa makanan.

Tas kresek yang ringan itu beberapa kali masuk ke halaman rumahnya saat angin bertiup kencang. Selain itu, bau busuk sudah tercium sampai dalam kamar. Risma sudah beberapa kali mengingatkan tetangganya untuk tidak membuang sampah di sebelah rumahnya. Ia meminta dibuang di lokasi lain. “Kok buang sampah sendiri di tempat orang,” teriak Risma pada tetangga yang dilihatnya tengah membuang sampah.

Entah siapa yang memulai, sejumlah warga kini menjadikan lahan kosong itu sebagai tempat pembungan sampah rumah tangganya. Sebelumnya, tempat penimbunan sampah berada di area lain. Nah, area pembungan sampah sebelumnya kini telah dibangun rumah tingkat. Jadilah warga membuang sampah berpindah-pindah.

Selain ditumpuk tanpa pengelolaan, sebagian warga lain membuang sampahnya ke sungai, yang berada di pinggir kawasan pemukiman baru itu. Padahal, sungai kecil itu masih difungsikan sebagai tempat mandi dan mencuci baju.

Sampai kini banjar setempat belum mempunyai tenaga pengangkut sampah rumah tangga. Biasanya, tiap banjar mempunyai tenaga pengangkut sampah yang digaji dari iuran sampah warga perbulan.

Di kawasan pemukiman, sampah-sampah itu diangkut dengan gerobak kemudian dibuang di lokasi pembungan sampah sementara. Dari tempat inilah sampah diangkut dengan truk oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir di Suwung, Sanur.

“Saya bingung, sampah ini mau dibawa kemana? Ya sudah, ditumpuk saja dulu, nanti kalau sudah banyak, dibakar,” ujar Wayan Pudak, salah satu warga.

Tak hanya di daerah pemukiman sampah menumpuk dan tak terurus. Tumpukkan sampah juga terlihat di pinggir jalan. Pada sore hari, sampah biasanya tampak meluber di sekitar Jalan Nangka, Patimurra, dan sekitarnya. Bak sampah besar yang disediakan di beberapa tempat tak cukup menampung ratusan kubik sampah warga.

Sekitar pukul 6 sore sampai malam, sejumlah truk pengakut dari pemerintah baru akan mengambilnya. Pekerjaan petugas kebersihan makin berat. Sampah sulit dibersihkan karena berserakan tanpa bak penampung. Pemandangan ini terlihat setiap hari di sepanjang jalan Kota Denpasar. Bayangkan, betapa rumit dan letihnya petugas kebersihan menghabiskan waktunya berjam-jam memunguti satu demi satu sampah. Biasanya, setelah dipungut pun jejak sampah rumah tangga yang basah dari sisa-sisa makanan masih terlihat. Menimbulkan bau tak sedap dan dikerubungi lalat.

Yayasan Wisnu yang bergerak di bidang kampanye lingkungan memaparkan setiap hari rata-rata volume sampah yang dihasilkan warga Kota Denpasar sebesar 1.029 meter kubik. Sebanyak 67% sampah organik berupa daun, tumbuhan, sisa makanan. Sekitar 26% sampah anorganik, dan sisanya jenis lain.

Dari jumlah sampah itu, sekitar 87% dicampur dan tidak jelas pengelolaannya, 9% dibakar, dan sisanya dibuang sembarangan. Sampah itu tidak dipilah antara organik, anorganik, maupun yang beracun.

“Masalah pokok sektor persampahan adalah keterbatasan lahan untuk pembungan akhir dan belum adanya sisitem kelola penanganan sampah secara baik,” kata Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu soal penelitiannya yang dilakukan pada 2001 itu.

Data DKP pada 1999 menyebutkan, pemerintah menangani sampah untuk ditimbun di TPA sekitar 68%. Perusahaan Daerah (PD) Pasar 17%, swasta 3%, sisanya sekitar 12% ditangani masayarakat. Sementara menurut analisa Wisnu, sekitar 13% sampah tanpa penanganan sama sekali.

Penanganan sampah masih didominasi oleh pemerintah, sedangkan peran masyarakat sangat kecil. “Karena itu dapat dilihat bahwa masalah sampah hanya maslah pemerintah. Masyarakat tidak dididik untuk mengelola sampahnya,” tambah Suarnatha.

Selain sampah rumah tangga, terdapat sumber sampah yang lain dalam jumlah besar yang dihasilkan fasilitas pariwisata, seperti hotel dan restoran. Kehadiran wisatawan tidak hanya menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tapi juga sampah yang harus ditangani dengan benar.

Menurut catatan Wisnu, pengelolaan sampah di tempat pariwisata yang dilakukan sendiri juga sulit dikontrol. Proses penangananya adalah pemisahan sampah basah untuk makanan ternak, pemisahan sampah anorganik untuk dijual kembali, sisanya berupa residu dibuang ke TPA.

TPA juga dapat menghasilkan masalah baru seperti beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah. Misalnya air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen hasil penguraian sampah. Selain itu pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3.

Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Menurut Suarnatha, sistem pengelolaan sampah harus dikritisi kembali. Untuk mengurangi sampah menggunung di TPA dan sulit diolah. “Pemerintah dan masyarakat harus berbagi peran dalam pengelolaan sampah,” tambah Suarnatha. Salah satu tawarannya adalah sisitem material recovery facility (MRF). Sistem ini mengharuskan warga memilah sampah yang sebagiannya dapat dijual kembali. Hal ini memberi keuntungan untuk warga. Residu hasil pilahan ini yang diangkut ke TPA oleh DKP.

Dari pengalaman Wisnu melakukan ini untuk mengelola sampah bekerja sama dengan sektor pariwisata, volume yang bisa dikurangi sampai 60%. Jika pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini berjalan, maka pemerintah hanya perlu konsentrasi masalah pengelolaan TPA.

Kini, proyek pengelolaan sampah terpadu Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) menjadi tenaga listrik di TPA Suwung telah diitnggalkan investornya dari Inggris. Sampah terlihat makin tinggi di atas hamparan tanah sekitar 40 hektar. Dari pengamatan, rata-rata tinggi gundukan sampah adalah dua meter. Jika sampah ini dikumpulkan dalam lahan satu hektar saja, maka tinggi sampah mencapai 80 meter, lebih tinggi dari Hotel Bali Beach, Sanur, hotel tertinggi di Bali. Tentu menakjubkan melihat hotel sampah satu hektar berdiri di Bali.

3 thoughts on “Konflik Penanganan Sampah Rumah Tangga Kota Denpasar”

  1. sampah memang rumit!!!!

    ttg sarbagita sdh tdk ada kjlasan ya????

    trims infonya cukup membantu untak TA saya!!!

    klo ada info lge tlg di beritahu ya!!!!

  2. sistem yang ada bekerja semua, tapi tidak bekerja sama…. MRF pun menjadi dilema disaat dana tidak ada…. masyarakat makin pragmatis begitu pula pemerintahnya… daerah pariwisata juga masih benefit oriented.. yang penting kelihatan bersih dulu, masalah sampah mau dibawa kemana biarkan saja diurus belakangan aja… ada swakelola juga 90% praktiknya masih kumpul angkut buang, lalu mau bagaimana??
    entah dimana kuncinya sekarang?? apah UUD? Ujung2nya duit?? semua boleh punya pendapat tapi akan lebih baik jika semua mau bertindak dan bekerja sama,

Leave a Reply to didut Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *