The Battle of FKY and PKB

Seru sekali judulnya ya. Haha.. Maksudnya untuk menunjukkan genderang perang di bidang kesenian memang mesti berani ditabuh. Bahwa kesenian dan pertunjukkan seni budaya memang berani diadu. Bidang ini, antara lain seharusnya kompetitif dalam memuaskan hasrat penonton dan pemujanya.

Nah tahun ini, nyaris pada saat yang sama, Pesta Kesenian Bali (PKB) dan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dihelat. Dari segi daerah pelaksana, dua provinsi ini juga layak diadu. Punya tradisi, kesenian, dan budaya yang dijual untuk pelancong. Keduanya juga sudah berusia cukup tua. FKY berusia 20 tahun, dan PKB, hampir 30 tahun. Nah, sekarang yang saya adu adalah bagaimana FKY dan PKB punya potensi memuaskan hasrat penontonnya? Karena saya yang menulis, pasti menuruti nafsu sendiri ya. Hehe

Tetapi, saya berusaha menguraikannnya untuk mendekati (sedikit) objektif dengan data dan fakta. Saya mulai dengan kesan pertama. Ketika menginjakkan kaki di Benteng Vredeburg dan Taman Budaya Yogyakarta, pusat kegiatan FKY. Saya merasa jauh terpelanting dari suasana pasar malam PKB.

Padahal, Vredeburg, amat dekat dengan pusat hiruk pikuk Malioboro. Padahal lagi, saat pertama ke FKY, acara malam itu adalah festival band. Lha, kok nggak ada rasa sumpek-sumpeknya? Orang-orang berjalan santai, tak tergesa-gesa. Saya yang memapah anak berusia 20 bulan, dapat berjalan ringan. Apalagi di pintu masuk FKY kita disambut dengan pos informasi, yang dijaga sejumlah perempuan muda dengan serakan beragam formulir soal FKY. Kenikmatan dengan kebutuhan informasi terpenuhi bagi pelancong seperti saya.

Berikutnya, hamparan tempat duduk nyaman nan bersih memberikan kita keleluasan mempelajari brosur FKY  dan menentukan pilihan tontonan. Ring selanjutnya adalah pasar raya yang dijajar rapi dengan bahan gedek (anyaman bambu). Di pasar raya ini saya hanya mendapati berbagai produk kesenian. Kalau di PKB yang lebih rame dari pasar produk kerajinannya adalah pasar baju, aksesoris, dll, ala Pasar Kreneng itu.

Nah sekarang dari segi panitianya. PKB selalu diorganisir pemerintah daerah Bali melalui Dinas Kebudayaan. Kalau FKY diorganisir pihak swasta dan didukung penuh pemerintah daerahnya, dengan struktur kepanitiaan jelas dipampang di website-nya. Karena swadaya, di media publikasinya bertengger sponsor utama, yang sayangnya, tahun ini “dikuasai” perusahaan rokok. Rokok selalu berhasil menguasai event besar. Yah, karena perokok negara kita lahap banget makan rokok, jadinya orang terkaya Indonesia selalu pengusaha rokok. Sementara perokok aktifnya sebagian besar orang miskin. Nah lho, kenkene?

Yang bikin asyik, melihat panitia-panitia muda FKY berambut gimbal, sepatu boot setinggi lutut, atau ada yang gaya anak punk. Bahkan anak-anak “nakal” ini kelihatan manis banget jualan es moka di arena FKY atau nungguin stan kesenian tradisional. Bukan berarti mereka harus pakai destar atau pakaian jawa, kan? Trans kultural yang sangat menarik dan harmonis.

Lalu, soal acaranya sendiri. PKB memuaskan penikmat kesenian dan tradisi murni dengan porsi besar sajian seni klasik. Panitia PKB juga berusaha menghadirkan seni kuno yang hampir mati. Pertunjukkan rakyat-nya pun sangat klasik seperti drama gong, joged, arja, dan lainnya.

Yang bikin heboh penonton malah pertunjukkan seni partisipan luar negeri seperti Jepang, Korea, dan India. Dijamin penuh sesak, biasanya saya sendiri nyesek cuma bisa lihat punggung dan pantat penonton.

Dari jadwal acaranya, FKY tahun ini memberikan porsi yang hampir seimbang antara seni tradisi, moderen, dan kontemporer. Juga antara seni suara, musik, dan film. Apalagi genre atau aliran. FKY memberikan dangdut, musik 80-an, breakdance, cheerleaders, sampai Babad Kampung yang lekat dengan tradisi dan romantika suasana ndeso Jogja. Masa Lalu Selalu Baru, tema FKY menunjukkan keberpihakan panitia pada seni masa lalu yang dikolaborasikan sehingga menjadi sesuatu yang baru dan selalu baru.

PKB pun memperlihatkan keberpihakan serupa, menggali seni dan budaya lama. Hanya saja, caranya berbeda. Nilai-nilai kesenian di PKB masih diletakkan pada suatu yang sakral dan agung. Hingga sulit mendampingkannya dengan kesenian alternatif.

Mudahnya memahami kesenian gaya FKY ini barangkali yang membuat antusiasme kaum muda mengapresiasinya. Ini terlihat dari sumringahnya CahAndong, komunitas blogger Yogyakarta, yang kebanyakan anak muda ini menulis sajian-sajian FKY di jurnal pribadinya. Kebetulan saya kopi darat dengan sejumlah anggota CahAndong, dan terkejut dengan semangat mereka menjelaskan perihal FKY. Ini tentu tambahan promosi yang sangat baik untuk FKY, tanpa mengeluarkan dana tambahan.

Nah, kini soal peluang ekonomi kreatif. Industri kreatif kini menjadi keniscayaan untuk mengajegakan tradisi, kesenian, dan budaya. PKB belum berani menunjukkan bahwa kesenian juga adalah lumbung uang dan kreativitas. Berbeda dengan FKY yang dengan tegas membuka keran investasi seni. Pembukaan FKY ditandai dengan memasukkan uang ke dalam tabungan yang berujud boneka keramik dari Wayang Ontoseno yang menjadi maskot FKY XX 2008. Sebagai lambang bahwa festival seni di Yogya dinyatakan sebuah investasi.

Tak heran, pelaku industri kreatif Yogya berlomba-lomba mengisi FKY dengan produk-produk kesenian kreatifnya. Nilai-nilai lokal kemudian ter-revitalisasikan dengan sendirinya. Dan, saya, sebagai pelancong merasakan kebangkitan kebudayaan itu sendiri.

Saya pikir senimannya sendiri pasti merasa lebih dihargai dengan cara ini. Ketimbang yang selalu diperdebatkan di PKB. Seniman merasa dihargai terlalu rendah oleh panitia. Ini hal yang sangat dilematis karena bukan pasar (penonton) yang menghargai senimannya tapi panitia. Pasti selalu kekurangan dana kan.

Nah, menurut saya, yang menang dalam pertarungan kali ini adalah FKY. Silakan tidak setuju dengan saya. Saya terlalu mencintai Bali kalau memaksa memenangkan PKB tahun ini. Saya berharap tahun depan PKB yang menang. Apakah itu realistis?

11 thoughts on “The Battle of FKY and PKB”

  1. asik ya jalan-jalan ke jogja.oleh-olehnya mana mbak lode…iya sepertinya FKY lebih membeedayakan masyarakat dan kesenian itu sendiri ya, kalau PKB mungkin lebih ke konservasi jadinya. btw thank sudah mampir ke blog kisara dan bantuannya buat kisara ya

  2. Wah judul yang serem 😀 tapi sebenarnya sih klo disetiap daerah Indonesia ada Festival seperti ini, akan lebih baik ya kayaknya

  3. oya mbok lode, disambung lagi. rencananya kisara akan menyelenggarakan lomba blog untuk remaja menyambut hari remaja bulan agustus.karenanya nanti temanya tentang remaja, kespro dan kepedulian lingkungan. nanti minta bantuannya ya, karena akan minta tolong ke BBC, dan sekalian bisa dijadikan agenda BBC juga.kami memakai lalulintas blognya di http://www.remajabali.wordpress.com. matur suksma.

Leave a Reply to Artha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *