Perda Pemeliharaan Anjing di Bali

Pemerintah Provinsi Bali dan stakeholder menggelar public hearing Rancangan Peaturan Daerah (Ranperda) Tentang Penanggulangan Rabies, di Kantor Gubernur, Kamis.

Dalam draft Ranperda ini untuk pertama kalinya Bali akan mengatur pemeliharaan hewan penular rabies (HPR) seperti anjing, kucing, dan kera.

Sosialisasi dihadiri juga oleh Bali Rabies Forum, koalisi LSM pemerhati binatang yang akan terlibat dalam penyusunan ranperda ini.

Dalam pasal 7, HPR yang berkeliaraan di jalanan akan ditangkap dan dimasukkan ke tempat penahanan dinas kabupaten/kota.

HPR yang ditahan, dapat dikembalikan ke pemiliknya dengan membayar biaya pemeliharaan selama penahanan. Apabila dalam waktu 3 kali 24 jam sesudah penangkapan tidak diambil pemiliknya maka disita.

HPR sitaan dapat diadopsi oleh peminat setelah mengganti biaya pemeliharaan selama dalam penahanan.

Namun, jika tak kunjung diadopsi, maka HPR dapat dimusnahkan. Prinsip pemusnahan ini disebutkan akan dilakukan sesuai kaedah kesejahteraan hewan.

“Masalah utama penanggulangan rabies di Bali adalah anjing-anjing yang diliarkan,” ujar IB Ketut Alit, Kepala Dinas Peternakan Bali yang memimpin forum sosialisasi.

Penularan rabies menurut Alit disebabkan tingginya mutasi dan lancarnya lalu lintas HPR masuk dan keluar Bali.

Selain itu dalam draft ranperda ini pemerintah mewajibkan pemilik HPR memiliki kartu registrasi yang dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota.

Selain itu pemilik harus memvaksin hewan hewannya secara berkala, mengandangkan atau mengikat agar tak berkeliaraan di tempat umum.

Juga akan diatur ijin peredaran HPR untuk tujuan komersial, harus memiliki ijin usaha perdagangan dan ijin penampungan.

I Wayan Mudiarta, Manajer Operasional Yayasan Yudistira Swarga, yang concern dalam kesejahteraan anjing menyebut Ranperda ini isinya cukup ideal. Misalnya ide penampungan HPR sebelum dimusnahkan.

“Tempat penampungan tentu butuh biaya besar. Jangan sampai malah menjadi tempat yang menyengsarakan hewan,” ujarnya.

Yang perlu ditetapkan menurut Mudiarta adalah metode teknis pemusnahan dan vaksinasi.

Ahmad Yani, warga Ubung Kaja mengkritik penyimpangan eliminasi anjing. “Anak saya terus bertanya anjingnya yang dieliminasi karena lepas padahal sudah divaksinasi. Siapa yang bertanggung jawab dalam penyimpangan pelaksanaan teknis,” tanyanya dalam forum.

Sementara drh. Soeharsono, mantan penyidik penyakit hewan meminta perda tak hanya berlaku di atas kertas, seperti kebanyakan Perda lain.

Sebelumnya, ratusan ribu anjing di Bali yang sebagian besar diliarkan tidak diatur dalam aturan hukum. Pengaturan anjing dinilai penting setelah sedikitnya delapan orang meninggal setelah digigit anjing yang tertular rabies.
english version: http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/24/bali-prepares-rabies-bylaw.html

0 thoughts on “Perda Pemeliharaan Anjing di Bali”

  1. Kayak gini ini enaknya anjing2 liar itu bisa cepat dimusnahkan.
    Aku berdoa supaya mereka ga ada yang adopsi dalam waktu 3×24 jam. 😀 (subjektif berat)

  2. Salah satu wujud kesadaraan warga dan pemerintah setempat adalah menjaga dan mengawasi penyebaran wabah dan potensi outbreak – sebuah langkah pendekatan yang bagus nih… this is an appropriate social/citizen responsibility indeed.

  3. Anjing” liar di pinggir jln yg bnyk mnyshkan para pengendara khususnya pengendara sepeda motor, hrusnya ditindaklanjuti.

    Ya…..kayak di luar negeri sana….
    Hihi……..

Leave a Reply to a! Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *