Kota Hijau, tapi Perilaku Hitam

“Mbak, kalau mo ganti jadwal terbang nambah 500 ribu, karena kelasnya beda. Yang sama gak ada,” demikian nona manis, Nur, dari IPC mengkonfirmasi penerbangan Garuda. Rabu malam, 11.35pm di GG House Happy Valley, Jalan Raya Puncak, Cibinong, minggu ketiga Desember. Jadi saya harus menghabiskan 36 jam lagi di Bogor.

Walau kangenku padamu, wahai ayah dan Bani tak tertahankan, tapi berat sekali rasanya mengeluarkan 500 ribu dari dompet. Kan kita mo nabung buat liburan ke Bandung bersama bulan Maret kan, darling??

Lagipula toh saya belum pernah jalan-jalan di Kota Bogor. Nelpon si ayah, dan dengan bijaksananya memberi semangat untuk menghabiskan 24 jam lagi di Bogor. Yes, u r my man.

Maka dimulailah perjalanan mencari penginapan murah bekal googling. Pertama, Hotel Permata di Jalan Raya Padjajaran. Coret! Paling murah Rp 419 ribu, cing. Pesan: Jangan percaya website yang berisi info “hotel termurah.” Dan semua website yang memuat info-info tidak akurat ini ada di top ten halaman 1 google. Jebakan maut SEO.

Persis sebelah hotel ini ada wisma. Kelihatan ramai dan terlihat murah. Saya di-stop bapak penjual minuman di depan wisma. Ternyata dia resepsionis bayangan yang “merayu” calon penginap. “Aduh neng, kamarnya penuh. Tapi tunggu di sini, katanya ntar lagi ada yang mo keluar.” Dia ga tahu jam berapa tamu itu keluar tapi disuruh nunggu aja dengan tenang di sebelah gerobaknya. Lho, kalau ga tau kok nyuruh orang nunggu. Coret!

Singkat cerita, berlabuhlah saya di Puri Bali Homestay, Jalan Paledang 50. Pukul 11.50 Wita terlihat di henpon. Saya pernah baca penginapan ini hasil googling dari beberapa note turis asing, tapi postingan itu smuanya jadul, karena ditulis harganya Rp 30 ribu per kamar.

Sekarang penginapan cum rumah ini Rp 110 ribu include breakfast. Pemiliknya adalah I Made Taman almarhum, ngaben 2002 di Buleleng, kampung halamannya. Saya bertemu pak Chris, 65 tahun, pengelola yang adalah anak tertua. Rumah yang dijadikan penginapanini  benar-benar berusaha tak diubah menjadi terlihat seperti penginapan.

Tegel, tempat tidur sangat sederhana, meja-kursi tua yang biasa, kasur tipis, dan lukisan-lukisan murah berusia tua. Tapi secara keseluruhan, rapi, bersih, dan tenang. Hanya ada 4 kamar yang kini masih disewakan.

Di sela-sela mengisi form guest-homestay (yg sangat lengkap: nama, kewarganegaraan, jenis kelamin, paspor, tujuan, departure, arrival, kombinasi form loket imigrasi dan KTP) Pak Chris bercerita kalau bapaknya adalah ahli botani di Bogor. “Coba tanya petugas Kebun Raya Bedugul, Pak Made Taman siapa,” kata Chris yang ramah senyum ini bangga. Kelima anaknya memilih keyakinan berbeda-beda, ada yang Kristen, Budha, Islam, dan lainnya.

Ada sebuah lemari penuh dengan buku-buku berjudul bahasa Belanda di dekat pintu masuk wisma. “Bapak kan didikan Belanda, jadi ortodoks sekali soal menjaga buku. Kunci lemari buku ini dia bawa di sakunya pas meninggal,” kata Pak Chris. Ia mengatakan bisa saja gembok kecil itu dibuka paksa, tapi dia tak berniat membukanya. Benda yang dipaksa masuk melalui celah-celah lemari adalah kapur barus untuk mencegah rayap.

Saya masuk kamar, dan membuka laptop. Googling info wisata kota Bogor, info kuliner, dan buka google maps. Biar bisa nawar ma tukang ojek atau becak. Saya berusaha menghindari pakai angkot, karena cepat sampai dan terlalu riuh.

Perjalanan pertama, jalan kaki ke depan Istana Bogor. Ada ratusan rusa di balik terali besi dan penjual bensin eceran emberan di sepanjang trotoar. Di sini, besin ditakar pakai ember, bukan botol. Jadi si penjual menaruh  ember jumbo di trotoar.

Sebelah istana, adalah Kebun Raya Bogor yang termasyur karena masih setia ke-belanda belandaan. Saya sih menaruh ekspektasi tinggi.

Jalan lagi sekitar 2 kilometer mencari pintu masuk kebun. Ketemu pintu 1 yang krodit penuh pedagang emperan dan becek. Kenapa sih, para pedagang tidak diberikan tempat yg lebih layak dan diatur. Hikz..

Sudah mulai males, tapi harus masuk. Beli tiket Rp 10 ribu dan minta brosur di informasi. Keduanya dijaga anak-anak pelajar yg mungkin sedang kerja lapangan.

Turun dari pos tiket yang gedungnya megah, kontras dengan pemandangan pintu masuk, saya disambut aneka gundukan sampah. Malesnya nambah, tapi kan harus nyobain jalan di dalam.

Spot kedua adalah tugu Lady Raffles, sebuah bangunan kenangan  Sir Thomas Stamford Raffles seorang letnan gubernur Inggris di Pulau Jawa (1811-1816). Ia mendirikan monumen bagi istrinya Lady Olivia Mariamne yang meninggal akibat malaria pada tahun 1814 di Batavia. Kondisi sekitar tugu juga penuh sampah dan papan informasi tugu ini penuh coretan vandalism.

Gundukan sampah yang tak segera diangkut ini sangat mudah menyebar kembali karena angin. Tak heran sampah plastic dan botol dengan mudah ditemui di sela tetumbuhan dan pohon. Gimana dong, wong saya gak lihat ada tong sampah yang tersedia. Air di kanal-kanal kecil juga terlihat sangat keruh dan sebagian ada sampah. Buh..

Saya keliling sekitar satu jam. Sebagian besar pengunjung adalah pelajar. Inilah manfaat hutan dalam kota. Bisa jadi kelas-kelas sekolah. Sayangnya, perilaku dalam hutan masih polutan. Karena pengelola lebih suka memasang baliho, “Habis Manis, Sampah Dibuang” dari pada menyediakan tempat sampah.

Setelah keluar, saya melanjutkan jalan kaki sekitar satu jam mengelilingi pagar dan tembok kebun raya. Trotoarnya kelihatan cukup mahal, tapi juga tak terawat. Ada pedagang emperan, angkot ngetem, dokar-dokar yang dibiarkan buang air dan kotoran.

Belum lagi bau air kencing di pojok sana sini tembok kebun raya Bogor. para pejalan kaki, kebanyakan pelajar dan mahasiswa terlihat sangat hafal spot-spot “pusat kencing” sehingga dengan lihai menghindarinya. Saya yang turis dadakan lah yang apes karena tak kenal medan.

Kota ini seperti tak ada yang mengurus. Sementara klakson angkot yang saling serobot juga tak pernah usai terdengar.

Sepanjang jalan Padjajaran dan Djuanda yang itu pula saya melihat deretan gedung institusi bidang pertanian dan gedung penelitian botanical yang termasyur. IPB, LIPI, dan lainnya. Gedung-gedung terlihat bersih dan hijau. Kontras dengan kondisi jalanan depan gedung yang kumel, becek, dan bau. Inilah dua dunia, di dalam dan luar tembok gedung. Kapan dua dunia ini bertemu dan saling menyapa atau menyangga?

One thought on “Kota Hijau, tapi Perilaku Hitam”

  1. wow.. begitukah kondisi lingkungan kebun raya bogor yang termasyur itu??
    kalau memang kebun raya bogor lebih banyak dikunjungi oleh pelajar, mungkinkah pelajar itu yang punya perilaku polutan?
    sayang banget deh nasib pendidikan rumah dan sekolah di Indonesia. mosok ga bisa ngajarin tanggung jawab pada sampah masing2??

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *