Aku, Dagang Lumpia, dan Anaknya

Selasa ini adalah hari tergopoh-gopoh yang kesekian kali. Baru mau nyantai nonton, ada telepon, “Luhde, ini ada pemeriksaan hewan di maruti sekarang,” ujar suara Iluh wartawan enerjik tivi ini di seberang sana. Untung jarak dari rumah dekat, langsung aku tancap gas. Untungnya lagi, si Bani udah siap “disetor” ke bude pengasuhnya di depan rumah. Tinggal isi kotak makan siangnya dan dadah-dadah ma Bani bentar. Sampai di Maruti, foto-foto kambing dari berbagai pose dan baju penuh bau kambing.

Dari Maruti dengan agak sembrono naik motor, menuju gudang Sloka di Noja Ayung. Mau urus laporan keuangan dan laporan pajak sama Intan. Walau Sloka duitnya cekak yang penting manajemen keuangannya rapi dan jelas. Hehehe..

Baru saja sampai lima menit di gudang. Yup, sekre Sloka itu gudang yang kita sewa dua tahun. Mataku tertumbuk pada surat undangan dari YMK. Selasa pagi ini mestinya ada yang ke Hotel Nikki untuk diskusi Polmas. Hwa…. si Tulang inget gak ya? Nelpon tulang, dan dia lagi di Tabanan. Katanya dah mendelegasikan ke Intan, tapi kan si Intan bilang hari ini ke bukit.

Menanggung beban sebagai manajer operasional Sloka, tanpa pikir panjang aku geber lagi si honda bebek merah tua itu balik ke Gatsu Tengah. Masak orang dah ngundang, kita seenaknya ga dateng tanpa konfirmasi, pikirku. Ga bertanggung jawab banget lah. Coba kalau kita yang digituin, gimana rasanya?

Cuma sejam di sana (mungkin ga nyampe sejam) karena tempat duduknya dah penuh juga, cabut ke Sloka lagi. Ketemu Intan untuk menuntaskan soal keuangan itu. Lagian jam 1 ada jadwal hearing rabies. Sejam di Sloka, ngebut pake si bebek merah lagi ke DPRD Bali. Parkir si bebek sekenanya dan kasar, olahraga siang naik tangga ke lantai III. Aku nggak mau melewatkan sesi perkenalan, karena akan ribet ngecek nama-nama narasumbernya lagi ntar.

Aku buka pintu tempat rapat biasanya itu, dan kosong. Noone and nothing left. Tanya ke salah seorang petugas, katanya dah selese karena jadwalnya jadi jam 10. Wakz.. Pelajarannya adalah jangan mempercaya jadwal sidang dewan di meja depan. Mestinya dikasi tanda bintang kecil dengan tulisan jadwal bisa berubah sewaktu-waktu.

Hidungku kembali bersin-bersin seiring semilir angin yang makin kencang. Badan meriang. Otak tegang.

Aku berlari lagi menuju si bebek merah yang 10 tahun kutunggangi tanpa belas kasian. Maklum dia seringkali kotor dan jarang kubelai dengan kanebo. Mikir, ke Sloka lagi melanjutkan utak atik lap keuangan dengan Intan atau pulang aja.. Yang jelas, aku butuh air jahe panas mengusir bersin.

Jam 2 sore, dan aku memutuskan pulang dengan otak masih berikir soal Sloka, IPC, rabies, foto, dll. Melewati Drupadi, Hayam Wuruk lalu Kenyeri menuju Gatsu tengah.

Setengah jalan kenyeri dengan kecepatan 50 km/jam, ekor mataku menangkap seorang perempuan muda pedagang lumpia yang menggandeng balita kecil laki-laki. Ia menyeret bocah itu dengan tangan kananya di trotoar.

Otakku berhenti berpikir soal kerja-kerja itu dengan seketika. Blank! Jiwaku juga langsung kosong. Desiran angin kalah dengan detak jantungku. Tiba di lampu merah Kenyeri, aku memutuskan menyalip sebuah sedan dari kiri dengan sembrono dan balik mengejar bayangan si ibu dan balitanya itu.

Aku harus bertemu muka dengan si ibu. Aku harus melihat dengan close up wajah si ibu dan balitanya yang membuat jiwaku mengejan. Tentu tak sulit mengejar mereka dengan motor.

Aku berhenti di seuah gang kecil, si ibu dan balitanya 10 meter lagi tiba di depan mataku. Ia menyebut namanya Yuli dan Wildan, balitanya yang berusia 3 tahun. “Bu, beli lumpia 3000 ya, dibungkus,” begitu alasanku agar mereka mau kusapa sebentar.

Wildan kecil langsung duduk tertib di jalanan ketika ibunya memotong-motong lumpia. Ia akan menuju Pantai Sanur, untuk hilir mudik menawarkan lumpia yang yang dijunjung di atas kepalanyanya itu ke pengunjung pantai hingga sore bahkan petang hari.

Wildan tiap hari diajak berjalan kaki dari Kenyeri sampai Sanur (naik angkot sekali). “Saya jualan sambil ngasuh anak, di rumah tidak ada orang,” sahut Yuli ringan. Wildan yang hanya pakai sandal jepit tanpa jaket. “Dia sudah biasa menemani saya jualan,” kata Yuli lagi. Aku tanya, apakah dia sering menangis di jalan atau merengek? Yuli hanya menjawab dengan senyum. Wildan kecil menuju bebek merahku dan bermain ala naruto sendirian. Bocah manis ini komat kamit sendiri, ciat… ciat…

Usai menerima tiga lembar ribuan, Bu Yuli mengibas-ngibaskannya ke lumpia daganganya untuk penglaris. “laris…laris..” serunya pendek nyaris tak terdengar. Lalu dengan sigap ia meraih tangan kanan Wildan dan kembali mereka berlalu dengan penuh semangat.

Apa sih yang dicari? Bekerja sambil menyeimbangkan dengan kerja sosial sudah. Bahkan hampir seluruh hidup, pekerjaanku menuntut memikirkan kepentingan orang lain. Apa yang membuat tergopoh-gopoh dan memaki? Pencapaian? Apresiasi? “Selalu ingat melihat ke bawah, jangan ke atas,” begitu kata orang tua. Kalimat magis yang bisa membuat tangisku pecah.

Kalau melihat ke atas, angkasa sungguh tak berujung. Di atas langit ada langit. Temen dapat gaji 10 juta sebulan, eh masih ada lagi yg gaji pokoknya 2 juta. Lalu ada Anggodo yang kata koran bisa bagi-bagi suap milyaran, secara rutinkah?

Pencapaian prestasi kerja, demi kepentingan membantu semakin bayak orang tentu takkan usai. Namun, perasaan kurang duit mulu coba dikurangi. Jangan malah menjadi-jadi kaya iklan mini pesbuk yang konyol. Wildan dan Ibunya adalah barier baru lagi dalam lembaran hidupku.

0 thoughts on “Aku, Dagang Lumpia, dan Anaknya”

  1. *menarik nafas panjang.

    melihat ke bawah memang akan terus mengingatkan kita pada bumi, tempat di mana kita berpijak. bukan pada langit yang akan membuat kita terus ingin menuju tempat tiada akhir.

    aku jd inget delapan taun lalu ketika melihatmu menangis pertama kali setelah kita ngobrol dg pengungsi timor timur di gerokgak. ttg bagaimana kita harus terus membagi kepedulian pd mereka yg tersisihkan. mesk itu kadang tak terlalu berarti bg mereka.

    luv..

  2. aduh susah sekali dikomentari untuk hal ini.

    *gak tau harus berkomentar apa, yang pasti aku suka tulisannya :)*

  3. Yah, itulah hidup..

    Saya juga sering melihat beberapa ibu dan anak ndak beruntung karena Ibu saya beberapa kali didatangi/dihubungi oleh Bu Anggreni, ketua komisi perlindungan anak, untuk menampung sementara anak atau ibu muda yang sedang dirundung masalah.

      1. Ibuku sih cuma seorang pengajar Bahasa Indonesia untuk orang asing, dan mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah di lingkungan rumah.

        Tapi beberapa kali memang pernah menampung dan mengasuh anak-anak kurang mampu untuk disekolahkan. Sekarang sudah ndak lagi karena keadaan ekonomi ndak mencukupi. 🙂

        Bilang saja Ibu Maria Sidakarya, mungkin dikenali oleh Bu Anggreni.

        1. wow, ibu maria sidakarya itu kan sering nongol namanya di koran yah. di surat pembaca, interaktif radio, dll. wah hebat ibumu gung… boleh dong ketemu kapan2..

          dan, Sloka undang untuk ngisi kelas jurnalisme warga ntar. kan salah satu pelaku. great

  4. Seperti biasa..tulisan yang selalu menyentuh dan kali ini menggerakkan hati utk berani meninggalkan jejak disini.

    lam kenal lode!

Leave a Reply to putri sari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *